Got My Cursor @ 123Cursors.com
Himeka Raining Sora: A Little story about Mr. Argument

Senin, 01 Oktober 2012

A Little story about Mr. Argument


“...Saya tidak setuju dengan pendapat anda, menurut saya teori Darwin adalah teori yang tidak masuk akal..”
“Interupsi, bagaimana mungkin anda berkata seperti itu padahal anda mengetahui jika bukti-bukti penemuan itu ada.” Aku mengangkat tanganku sambil menatap tajam cewek didepanku.
“Oh, itu jelas sekali apakah pernah anda menemukan monyet yang berevolusi menjadi manusia, lagipula anda tahukan manusia pertama didunia adalah nabi adam dan nabi adam adalah seorang manusia, saya tegaskan sekali lagi manusia.” Ia membalas menatapku tajam tapi entah mengapa diantara tatapan tajamnya aku melihat kesedihan.
“Jadi anda mau bilang kalau semua teori Darwin adalah omong kosong? Dan semua penemuannya adalah palsu? !”
“Pada faktanya begitu kan? Lagipula pada zaman dahulu monyet juga sudah ada, dan anda tahu kan kalau jenis monyet didunia ini tidak hanya satu. Bisa saja yang ditemukan Darwin adalah fosil monyet jenis A, pada penemuan yang kedua B, begitu juga seterusnya..”
“Teng.. Teng.. Teng..” Suara bel dibunyikan tiga kali itu artinya waktu habis.
“Wuah seru sekali sepertinya sampai-sampai saya tidak menyadari waktu yang berlalu, oke buat kedua tim silahkan bersalaman dan kembali ke tempat masing-masing.” Seorang MC mempersilahkan kami bersalaman.  Gue menangkupkan tangan didepan dada sambil tersenyum dan sepertinya ia juga melakukan hal yang sama.
Gue Caprinsa Reza Dewantara. Kalian cukup panggil gue Reza, gue anak basket dan meskipun bukan kapten basket gue termasuk anak yang populer tapi bukan gara-gara prestasi basket yang gue raih melainkan prestasi debat. Yap gue anak debat, gue suka banget sama yang namanya debat bagi gue debat bukan Cuma bagaimana caranya agar kita bisa mempertahankan argumen kita, tapi bagaimana kita mempertahankan argumen, mengalahkan argumen lawan tapi  gak kepancing emosi, karena banyak orang kalah debat hanya karena masalah emosi. Oke, sekarang gue lagi ikut lomba debat disalah satu universitas islam di kota gue. Oya, cewek yang tadi ngelawan gue pas debat tadi namanya Cinta atau lebih lengkapnya Fraya Cinta Priscillia. Dia teman gue bukan lebih dari sekedar teman dia sahabat gue. Kita udah sahabatan dari kecil mungkin karena orang tua kita dekat kali ya, nyokap dia itu senior nyokap gue waktu kuliah dan mereka akrab banget.
“Selamat ya Cin, gue gak nyangka ternyata lo jago debat juga.” Gue menghampiri dia saat turun dari panggung debat.
“Sama-sama lo juga hebat.” Dia mengacungkan kedua jempolnya kearah gue lalu pergi bersama teman-temannya.
“Cin? Cinta maksud loh? Cie ternyata tuan argumen bisa jatuh cinta juga.” Awan menghampiri gue sambil senyum-senyum gak jelas.
“Namanya emang Cinta, kalo lo gak percaya tanya aja.” Tanpa mempedulikan Awan yang masih bengong gue pergi dari situ nyusul teman-teman yang lain.
**********
Gue menatap piala dihadapan gue tanpa berkedip “Juara 2 lomba debat tingkat SMA”. Juara 2? Kok juara 2 bukannya juara 1 ya? Bukankah kemaren gue udah mengeluarkan kemampuan terbaik gue?.
“Tidak apa-apa yang penting kamu sudah mengeluarkan kemampuan terbaik kamu.” Pak Nanda menepuk pundak gue pelan.
“Tapi pak...”
“Sudah tidak apa-apa ayo cepat kembali ke kelas sekarang.” Ia mengisyaratkan gue untuk mengikutinya, gue mengangguk pasrah.
**********
Gue menatap motor matic yang ada didepan rumah. “Cinta sama nyokapnya pasti kesini.” Gue bergumam pelan.
“Assalamualaikum.” Gue menenteng tas sekolah gue yang beratnya banget banget.
“Waalaikumsalam, sini salam dulu sama tante Fiona.” Gue tersenyum mengangguk, bener kan kata gue pasti ada Cinta, nyokapnya aja ada masa anaknya enggak.
“Bunda, tante Reza ke kamar dulu ya.” Gue tersenyum sopan.
“Gimana hasil debatnya Za?” Pertanyaan bunda membuat langkah gue terhenti.
“Gak bagus Bun, Reza kalah.” Dengan tampang lesu gue menoleh ke arah bunda.
“Yaudah gak apa-apa mungkin itu emang yang terbaik buat kamu.”  Gue Cuma tersenyum maksa.
“Le.. Azalea..” Gue memanggil adik gue berkali-kali tapi kok dia gak muncul-muncul ya biasanya juga dipanggil sekali langsung nongol itu anak.
“Le.. Aza..” Belum sempat gue selesai memanggilnya tiba-tiba aja dia udah nongol didepan gue dengan senyum  manisnya. Akemi Putri Azalea adalah adek gue yang umurnya 12 tahun dibawah gue, yap dan selama 12 tahun itulah gue merasa jadi anak tunggal, jujur aja awalnya gue gak suka dia ada kenapa? Karena dengan kehadirannya berarti status anak tunggal lepas dari diri gue dan digantikan oleh status kakak, tapi lama-lama gue luluh juga ngeliat sifatnya yang lucu dan ngegemesin.
“Apa Kak?”
“Siapa yang nguncirin kamu kayak gini?” Gue memperhatikan rambutnya yang dikuncir dua, lucu sih tapi gak biasanya dia mau dikuncir.
“Kak Cinta, aku lagi maen masak-masakan sama kak Cinta, kakak ikutan yuk.”
“Hah? Ikutan gak ah.” Gue menggeleng. Masa gue cowok kelas 11 main masak-masakan, ogah mending gue main PS.
“Ih kakak ayo.” Dia masih sibuk menarik-narik tangan gue dan keliatannya usahanya gak berhasil tuh.
“Kenapa sih ribut-ribut.” Gue menoleh kearah bunda yang tiba-tiba muncul didepan gue.
“Ini nih bun, masa Reza disuruh main masak-masakan kan..”
“Udah sekali-kali kamu turutin adek kamu.” Habis ngomong gitu bunda pergi.
“Ayo Kakak..” Masih dengan usahanya yang siaa-sia dia menarik tangan gue.
“Iya deh.” Gue berjalan pasrah.
“Kak Cintaaaa.” Dengan suara imutnya dia berteriak-teriak memanggil Cinta.
“Sini bantuin kakak.” Sebuah senyum mengembang diwajahnya tapi senyum itu berubah jadi ekspresi menahan tawa waktu dia ngeliat gue ditarik-tarik sama Azalea.
“Gak usah ketawa.” Dengan suara dingin gue berhasil membuat dia diam meskipun sebenarnya ekspresi ketawa masih terpancar dari matanya. “Oh ya, selamat ya lo menang lomba kemaren.”
“Oh itu, sama-sama kenapa? Gak ikhlas ya gelar juaranya direbut orang.” Ia tertawa pelan.
“Biasa aja.” Gue memalingkan muka. Kalah dari Cinta bukanlah suatu hal yang aneh waktu dulu gue satu TK, SD bahkan SMP sama dia, dan dari SD kita emang udah sering kejar-kejaran nilai kalau gak dia yang juara 1 ya gue yang juara 1, sampai-sampai kita nyabet gelar Ratu dan Raja di SD, Pangeran dan Putri di SMP. Gelar itu sama aja kayak putra dan putri terbaik sekolah.
“Oh ya Za, tolong bantuin motongin sayuran yang ada di mangkok putih ya.” Dia nyuruh gue, gue diam aja “Emang mau bikin apa lo?” Tanpa mengalihkan muka gue bertanya.
“Soup Cream.”
“Emang bisa ?” Dengan nada mengejek gue bertanya. Soup Cream itu makanan favorit kita, soup cream nyokapnya Cinta itu enak banget tapi itu kan nyokapnya bukan dia, kalo dia? Mana bisa terakhir makan soup cream buatan dia rasanya aneh banget keasinan.
******************
Bro, jgn lpa lthn nnti sre.  
Y. gue membalas sms itu setengah hati,  gak heran banyak yang bilang anak basket sekolah gue menang tampang sama skill doang tapi kemampuannya? Nol besar buktinya seminggu lagi UKK masih aja sempet latihan basket. Kalau bukan karena final basket yang diadaiin 2 hari sebelum UKK gak bakal deh gue ikut-ikutan yang kayak gini.
kak saya gak bisa les hari ini, ganti hari besok aja gimana?. Gue membaca sms itu sekali lagi lalu mengirimnya.
Ya. Gak sampai satu menit balasan sms itu gue terima. Kak Rio koordinator tempat gue les emang deket sama gue selain itu dia juga mantan anak basket sekolah gue diangkatannya dulu, jadi dia tau gimana gilanya kita kalau latihan.
“Dateng juga lo, kirain lo lebih milih penjara suci itu.” Teriakan Dani menyambut kedatangan gue ketempat itu, sontak aja semua anak langsung nengok kearah gue.
 gue sih Cuma tersenyum kecut aja “penjara suci.” Itu sebutan buat tempat les, bagi mereka akademis itu gak penting  yang penting itu basket.  Dasar otak udang.
“Ayo mulai.” Dani melemparkan bola dan permainanpun dimulai.
***********
“Reza semangat ya kamu pasti bisa.” Tiara menghampiri gue sambil tersenyum.
“Cie Reza dicariin tuh sama pacar lo.”
“Thanks.” Gue Cuma melihat wajahnya sekilas lalu pergi ke lapangan basket. Sumpah lama-lama enek gue sama ni anak. Tiara Anggrek Florezia mantan gue termasuk salah satu anak populer disekolah, gadis sampul majalah our world, salah satu majalah remaja paling laku, anggota cheers, lumayan pintar dan posesif.
“Gila ya, beneran cinta mati kali dia ama lo.” Awan mendribel bola disamping dan melemparkannya asal kearah ring.
“Gak peduli.” Gue berhenti sejenak. Kalau dipikir-pikir ada benernya juga kata-kata Awan barusan, sejak kita putus dia gak pernah berhenti ngejar-ngejar gue, satu alasan yang sering gue denger adalah karena dia masih menyukai gue.
“Udah terima aja daripada lo berurusan sama kakaknya lagi.” Gue Cuma tersenyum sinis, kakak Tiara leader genk rusuh disekolah gue, Waktu gue mutusin dia dan dia naangis sejadi-jadinya, gue dihajar habis-habisan sama genk kakaknya, untung ada Awan kalau gak, mungkin gue udah mati.
Gue sama Awan emang udah sahabatan dari dulu kita ikut basket, meskipun kita udah sahabatan lama Awan gak pernah tau tentang Cinta, wajar aja gue gak pernah memperkenalkan dia ke temen-temen gue.
‘Oya, ntar sore gue les.”
“Sip.” Awan mengacungkan kedua jempolnya “Jangan lupa bagi-bagi ya.”
“Jangan ngarep deh.” Gue melemparkan bola basket kearahnya lalu pulang.
****
“Kak Rio, kelas saya dimana?” Gue menghampiri Kak Rio yang sedang berdiri didepan pintu resepsionis.
“Sebelas A.”
“Thanks.” Gue berjalan menyusuri koridor les baru akan dimulai 10 menit lagi.
Gue melihat sekilas nama kelas dihadapan gue “XI-A” . bukan apa-apa hanya untuk memastika gue gak masuk kelas yang salah.
“Krekk.” Gue membuka pintu itu beberapa orang menoleh kearah gue.
“Hei Za,ngapain lo disini bukannya lo anak sebelas D?” Andre yang duduk di pojok menatap gue heran.
“Pindah kelas, kemarin sibuk.” Gue berjalan kearahnya dan menaruh tas disampingnya. Gue kenal Andre pas kita try out. Waktu itu gue sama dia telat jadi kita kerja sama buat bikin alasan telat.
“Tumben lo baru datang.”
“Oh, tadi ada perlu dulu.” Suara seseorang yang menjawab pertanyaan gue membuat gue mengangkat kepala dari buku didepan gue.
“Cinta?” Gue Cuma bergumam pelan.
Anak-anak sebelas A ternyata cukup rusuh juga meskipun gak serusuh kelas gue, beberapa anak sepertinya membicarakan gue, bukannya sombong sih Cuma dari tadi beberapa cewek ngelirik kearah gue sambil ketawa-ketawa gak jelas gitu. Satu hal yang baru gue sadari adalah dari tadi ada satu cowok yang selalu ngedeketin Cinta tapi anehnya Cinta cuek-cuek aja. Namanya Adam kalau menurut gue dengan gayanya yang casual dia cukup keren, dia keturunan Indo-jepang keliatan dari matanya yang sipit khas jepang, pintar dan sepertinya dia bintang kelas.
“Jedgerrrr. Jedgerr..” Gue melihat ke luar dinding resepsionis yang memang semuanya terbuat dari kaca.
“Aaarghh..” Cinta spontan melonjak saat mendengar bunyi guntur itu. Gue tertawa kontan aja dia melirik kearah gue, mata membelalak antara kaget dan kesal mungkin heran kenapa gue disini.
“Reza, kok disi...” belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya seseorang menghampirinya.
“Kenapa Ta?” Adam mendekat kearahnya.
“Nope.” Cinta menjawab cuek.
“Oh, kirain kenapa.” Adam langsung salah tingkah. Lucu juga bagaimana cowok sekelas dia dicuekin cewek, gue yakin seumur hidupnya gak pernah ada cewek yang cuek kayak gitu sama dia.
Jam sudah menunjukan pukul  7 malam tapi hujannya gak reda juga. sebenarnya bisa aja gue nerobos hujan tapi gue gak mau. Akhir-akhir ini gue udah memforsir tubuh gue buat latihan, sekali gue nekat main hujan-hujanan besoknya gue bakal sakit dan terancam gak ikut pertandingan.
“Sial, gue kan bawa jas hujan.” Gue menepuk jidat gue baru inget kalau gue di bagasi motor kan gue selalu membawa jas hujan.
“Ma, bisa jemput aku gak?..” samar-sama gue mendengar percakapan Cinta dan nyokapnya, ya ampun anak itu masih aja manja, keliatannya doang udah dewasa tapi kalau udah kayak gini gak ada bedanya sama anak kecil. Gue berlari ke arah parkiran mengambil jas hujan dan masuk lagi ke ruang resepsionis.
“Nih pake.” Gue menyodorkan jas hujan yang tadi gue ambil dan pulang tanpa memakai jas hujan.
******
“Halo. Wan tolong bilangin gue zin gak masuk hari ini,ada urusan keluarga.” Gue mematikan sambungan telpon. Terpaksa hari ini gue bohong kalau sampai mereka tahu gue sakit bisa-bisa gue gak diizinin ikut pertandingan. Sekolah gue emang ketat banget kalau sampai ada anak yang sakit seminggu sebelum pertandingan basket, siap-siap aja anak itu bakal kehilangan kesempatan untuk ikut tanding, maklum aja selama ini sekolah gue emang selalu jadi juara basket.
Gue menatap hujan yang turun dari kamar gue, hujan? dulu gue sering main hujan-hujanan bareng Cinta, entah sejak kapan kebiasaan itu lama-lama menghilang, mungkin sejak kita sudah beranjak puber, mungkin saat kita sudah mengenal rasa malu atau mungkin saat kita sadar kalau remaja seumur kita sudah tidak pantas untuk melakukannya.
“Kak Rezaaa.” Sesosok makhluk lucu memasuki kamar gue sambil membawa sebuah bungkusan.
“Apa Lea?” Gue menghampiri sosok itu.
“Ini dari Kak Cinta.” Dia menyerahkan bungkusan itu, gue melihat isinya sekilas.
“Ini buat kakak juga?” Gue mengambil sebatang coklat dari bungkusan itu, satu hal yang gue tahu Cinta itu bukan anak yang suka ngasih hadiah ke cowok meskipun Cuma permintaan maaf.
“bukan, itu punya aku tapi aku udah punya buat kakak aja ya.” Azalea tersenyum manis lalu meninggalkan gue sendirian lagi
*****
Perrtandingan bakal dimulai beberapa menit lagi, pertandingan ini berlangsung di GOR kota gue jadi gak heran kalau yang datang juga banyak ditambah kenyataan kalau sekarang adalah pertandingan final jadi gak heran kalau yang datang banyak.
“Prittt..” Peluit tanda permainan dimulai dibunyikan, semua temen-temen gue udah siap di tempat masing-masing. Gue menempati tempat gue sebagai Shooting Guard sedangkan Awan sebagai Starter.
“Za.” Gue menangkap umpan Awan dengan sigap. Dan melakukan tembakan.
Pertandingan selesai dengan skor 50-49 dan kemenangan berada di tangan sekolah gue.
“Selamat ya. Kalian emang yang terbaik.” Zera Kaptem tim lawan menepuk pundak gue, gue memperhatikan mukanya kayaknya gak asing.
“Thanks bro.” Gue tersenyum. Tadi waktu kita lagi istirahat sekilas gue melihat Cinta dan sekarang gue tau kenapa dia ada disini,lawan gue barusan ternyata sekolahnya.
“Rezaa.” Tiara melambaikan tangannya lalu berlari kearah gue. Gue menghela napas berat.
“Selamat ya, kalian menang.” Dia mengulurkan tangannya. Gue diem.
“Hmm, gak apa.” Dia menarik tangannya lagi. “Oya, aku mau makan sama yang lain. Kamu mau ikut gak?” Dia menatap gue dengan pandangan penuh harap.
“Gak deh, lo aja.” Males banget ikut bareng dia, pasti nanti dia bakal bertingkah super posesif sama gue, belum lagi gue bakal jadi bulan-bulanan anak-anak
“Kenapa? Aku traktir deh.” Dia masih berusaha membujuk gue dan kayaknya bentar lagi dia bakal narik-narik tangan gue kayak anak kecil minta dibeliin permen.”
“Ngg, gue..” Gue berpikir keras mencari alasan, dan thanks god entah kenapa tiba-tiba saja Cinta sedang berjalan didepan gue.
“Cintaa.” Gue memanggil namanya, dan hebat saat itu juga perhatian Tiara teralihkan kearahnya . Dia menoleh kearah gue.
“Aku jadi nganterin kamu ke toko buku, bentar ya kamu tunggu di parkiran aja bentar lagi aku nyusul.” Gue mendekat kearahnya dengan Tiara yang masih mengekor dibelakang gue. Cinta Cuma menatap gue heran. Gue balas menatapnya dengan pandangan memohon sambil menunjuk-nunjuk cewek dibelakang gue.
“Cinta? Jadi dia alasan kamu menjauh dari aku? Kamu udah punya pacar.” Kata-kata Tiara barusan mengehntikan langkah gue,  Ah, gue ngerti terima kasih tante Fiona karena telah memberi anak tante dengan nama CINTA dan itu telah membuat makhluk dibelakang gue percaya kalau dia pacar gue bahkan tanpa perlu gue berbohong.
Gue membalikan badan gue lalu tersenyum, seperti dihempaskan ke dalam tanah seketika itu juga raut muka Tiara berubah dia berbalik meninggalkan gue.
“Thanks ya, lo udah nyelamatin gue dari makhluk nyebelin itu.” Gue berlari kearah Cinta yang masih menatap gue heran.
“Oh, ya it`s OK.” Cinta lalu pergi begitu saja mungkin mengambil motornya atau menunggu di jemput orang tuanya.
Cinta anak tunggal setahun lalu kakaknya meninggal akibat kecelakaan, dan sejak itu Cinta gak pernah diizinin bawa kendaraan sendiri kecuali kalau orang tuanya sibuk jadinya mereka gak bisa antar jemput dia.
Gue berjalan ke parkiran motor  mengambil satria ninja favorit gue lalu bersiap pergi, gue memperhatikan orang-orang sepanjang jalan dan ternyata gak banyak orang yang tersisa, pertandingan udah selesai sejam yang lalu. saat gue hendak keluar GOR gue melihat Cinta sedang duduk sambil memandangi Hpnya berkali-kali abis itu dia berjalan keluar mungkin bosan menunggu orang tuanya yang tak kunjung datang.
“Brukk.”
“Tolongin.. Tolongin.”
“Ada yang ketabrak.”
“Sialan lo.”
“Kurang ajar lo.”
Suara orang-orang yang ribut dibelakang gue menyita perhatian gue, gue turun dari motor dan menghampiri mereka.
“Kenapa?” masih dengan gaya gue yang cool gue bertanya ke mas-mas  yang ada disana.
“Ada cewek ketabrak mobil, tabrak lari.” Dia buru-buru meninggalkan gue.
“Ketabrak mobil? Tabrak lari?” Kenangan tentang Kak Ian menghampiri ingatan gue. gue berlari kearah kerumunan orang. Seketika muka gue pucat.
“Cinta?”Gue berteriak panik, Gue mengangkat tubuhnya, muka dan badan dia berlumuran darah, tangannya masih memegang HP yang tadi dia main-mainkan.
“Cinta, Bangun Cin..” Gak pake mikir gue menyetop taksi yang lewat lalu memasukan Cinta kedalam. Tujuan gue Cuma satu. Rumah sakit terdekat. Ingatan gue kembali ke masa setahun lalu. “Dejavu” Gue mendesah pelan.
“Kak Ian.” Cinta melambai-lambai tangannya. Kak Ian menoleh lalu tersenyum ia berlari menghampiri kami. Hari ini kak ian ikut lomba debat antar mahasiswa dan Cinta datang untuk memberinya semangat sedangkan gue karena gue emang udah tertarik sama debat dari dulu jadinya gue ikut.
“Ah, ampun kok bisa lupa?Tunggu bentar ya.” Kak Ian menepuk jidatnya, tersenyum lebar kearah kami lalu berbalik lagi. Cinta memandang gue heran, gue mengangkat bahu gue “Gak tahu.” . Gak lama kemudia Kak Ian balik lagi sambil membawa almamater ditangan kirinya dan sebuah kado di tangan kanannya. Gue tersenyum beberapa minggu lalu ia berjanji akan memberi Cinta hadiah jika ia berhasil masuk tiga besar di kelasnya dan gue kira itu bercanda doang gak taunya beneran.
“KAK  IANN.... AWASS.” Teriakan Cinta membuat gue melihat kearah kak Ian yang sedang menyebrang.
“Buukkk.”
“Kak Iannnn.”
“Tolongin-tolongin.” Gue terdiam. Suara orang-orang ribut memecahkan pikiran. “Ada apa?” Gue menatap orang-orang panik. Menatap Cinta yang entah sejak kapan udah duduk disamping kak Ian sambil menangis.
“Dek.. Dek.. Udah sampe.” Suara sopir taksi membuyarkan lamunan gue.
“Nih pak, buat ongkos sama cuci mobilnya. Thanks ya Pak” Gue mengeluarkan selembar uang seratus ribuan lalu berteriak memanggil perawat untuk membawa tempat tidur dorong. Sepanjang koridor gue ikut berlari mendorong tempat tidur itu.
“Mama.. Papa.. Kak Iann..” Ia memanggil nama mereka pelan. Gue gak tahu kenapa tapi suaranya seperti orang kesakitan. Gue menatapnya dalam diam berusaha memahami keadaannya.
“Rezaa.” Ia memanggil nama gue. Gue diam gak tahu apa yang harus gue lakuin, gue tahu Islam melarang kita untuk menyentuh lawan jenis yang bukan makhramnya, tapi sekarang ini Cuma gue yang ada disampingnya.
“Ya Allah, tolonglah hambamu ini.” Gue berkata pelan.
“Tunggi disini ya.” Perawat yang tadi menghentikan langkah gue lalu menutup pintu yang ada dihadapan gue. Gue mondar-mandir didepan pintu, gue harap dia selamat. Tante Fiona udah gue kabarin mungkin 30 menit lagi beliau sampe, gue bersyukur saat itu Oom Putra bokapnya Cinta lagi bersama beliau, gue gak bisa bayangin apa yang akan terjadi kalau Tante Fiona lagi sendirian mungkin beliau bisa pingsan atau terkena penyakit jantung.
“Gimana keadaanya dok?” Seorang dokter yang masih menggunakan masker keluar dari ruangan.
“Teman anda kehilangan banyak darah, kita butuh donor darah dan saat ini stok di..”
“Apa golongan darahnya?” Gue memotong omongan Dokter itu gue tahu apa yang dimaksud dokter itu.
“AB.” Gue mondar-mandir lagi gak tahu apa yang harus gue lakuin, nunggu keluarganya datang gak akan menolongnya. Tiba-tiba aja sesuatu terlintas di pikiran gue.
“Saya dok, saya bisa jadi pendonornya.” Gue berteriak panik. Gue tahu umur gue belum nyampe 17 tahun dan gue juga belum dapat izin tertulis dari ortu buat mendonorkan darah tapi gue yakin ortu gue terutama nyokap pasti bakal ngizinin.
“Anda siapanya?” Dokter itu menatap gue, apa yang harus gue lakuin? Ngaku kalo gue kakaknya? Bisaaja sih tapi kalo beliau gak percaya gimana? Secara tadi gue udah bilang “tolong teman saya.”, ngaku jadi temannya? Bukannya gue gak mau tapi temen gue pernah punya pengalaman kayak gitu dan akhirnya dia gak dibolehin atas alasan belum mendapat izin dari ortunya.
“Saya.. Ngg.. Pacarnya.” Damn gue berteriak dalam hati kalo ortu gue, atau ortunya dia tahu gue ngaku-ngaku kayak gini pasti gue udah diomelin bukan apa-apa, karena seharusnya gue bisa lebih pintar untuk tidak mengaku-ngaku sebagai pacarnya, gue tahu pacaran itu gak boleh makanya gue putus sama Tiara.
Dokter itu menatap gue dari atas sampai bawah lalu mengangguk dan masuk ke dalam. Gue mengikuti dari belakang. Gue mengatupkan rahang keras-keras gak percaya dengan apa yang ada di depan gue. Cinta terkulai lemas, mukanya pucat pasti akibat kekurangan darah, tetes-tetes darah masih mengalir dari tangannya.
Gue merebahkan diri di samping ranjang dia, Selang transfusi tertancap di tangan gue yang satunya, gue memperhatikan setiap darah yang berjalan melewati selang transfusi menuju tangan Cinta, yap karena tidak banyak waktu yang tersisa akhirnya dokter memutuskan untuk mentransfusi langsung.
Tiba-tiba saja tubuh Cinta mengejang para perawat dan dokter kembali sibuk dengan dirinya, gue gak tahu apa yang gue rasain antara panik, takut dan kalut. Gue memaksakan tubuh gue buat bangkit, dan saat gue berdiri tiba-tiba saja pandangan gue mengabur dan gelap.
*******
Gue mengerjap-ngerjapkan mata pelan, seberkas sinar yang menyilaukan menyambut gue. gue memejamkan mata gue sesaat lalu kembali membuka mata.
“Bun..” Gue menatap Bunda yang entah sejak kapan menangis, matanya sembap dan tangannya menggenggam tangan gue.
“Rezaa? Kamu udah sadar sayang.” Bunda menatap gue. ada aura kesedihan yang terpancar dari tatapannya. Gue Cuma mengangguk hal terakhir yang gue ingat adalah saat gue mentrafusi darah gue ke Cinta.
Cinta? Dimana dia sekarang? Is she okay?. Gue menyapu pandangan gue kesekeliling ruangan. Gak ada satupun keluarga Cinta disini.
“Bun, Cintaa..” Gue balik menatap bunda, bunda Cuma tersenyum samar.
“Dia udah ditangani dengan baik.” Kata-kata Bunda gantung. Apa maksudnya udah ditangani dengan baik? Gue kembali menatap Bunda heran.
“Cinta mengalami gegar otak, sebagian ingatannya menghilang selain itu di otaknya terjadi penggumpalan. Jadii..” Gue menegang seketika, gue merasakan sesuatu yang gak gue tahu itu apa, gue takut gak tau kenapa gue takut kehilangan dia.
“Tante Fiona membawa dia ke Singapura lagipula sejak sebulan yang lalu Oom Putra sudah dipindah tugaskan kesana.” Gue mencernana kalimat itu secara perlahan. Cinta? Pindah? Berarti gue gak bakal ketemu dia lagi.
“Tadi sebelum berangkat tante Fiona minta bunda ngasih ini ke kamu, bunda gak tahu isinya apa mungkin diarynya Cinta..” Gue menatap Bunda heran. Buat apa?. “Kemungkinan Cinta sembuh kecil jadi buat jaga-jaga tante Fiona meminta kamu menjaga ini.” Bunda menyerahkan sebuah buku ke tangan gue.
“Za, Bunda jemput Lea dulu, kamu disini sama teman-teman kamu ya.” Bunda mengelus rambut gue lembut, sejujurnya gue agak risih dengan perlakuan Bunda yang kayak gitu di depan teman-teman gue tapi mau giaman lagi Bunda kan melakukan itu karena sayang sama gue.
“Hei Wan.” Gue menyapa Awan yang tersenyum ke arah gue.
“Cinta siapa? Cewek yang waktu itu jadi lawan lo di lomba debat bukan?” Gue Cuma mengangguk.
“Cantik juga, lo pacaran sama dia?”Pertanyaan Awan barusan membuat gue menatapnya tajam. Bukannya merasa bersalah dia malah tertawa.
“Lo tau gak, berapa lama lo pingsan?” Dani yang entah sejak kapan berdiri disamping Awan bertanya sama gue. yaiyalah sama gue emang siapa lagi yang abis pingsan selain gue. Gue Cuma menggeleng.
“Sekitar 28 jam.” Gue membelalak kaget. Selama itukah? Pantesan badan gue sakit semua.
“Ini dari kita.” Dani menunjuk sebuah bingkisan atau parsel yang ada disamping ranjang gue. “Kalo itu dari sekolahnya Zera, katanya sekaligus permintaan terima kasih.”
“Sekarang jam berapa? Gue belum shalat.” Gue melirik pergelangan tangan kiri gue biasanya selalu ada jam yang melingkar disana tapi kok gak ada ya? Mungkin Bunda sudah mencopotnya.
*********
Gue membolak-balikan tubuh gue bosan, harusnya hari ini gue ada disekolah buat ngerjain soal UKK. Harusnya hari ini gue lagi pusing berkutat dengan rumus-rumus kimia. Tapi nyatanya gue malah ada dirumah sakit, dokter belum ngizinin gue pulang katanya gue baru bisa pulang 3 hari lagi. Mending disini gue ada temennya orang gue disini sendirian, bunda baru bisa datang jam 3 nanti katanya sih ada pesanan yang harus diselesaikan dengan cepat, ya begitulah bunda gue selalu sibuk dengan toko kuenya.
Gue meraba-raba laci disamping ranjang gue kali aja ada novel yang belum gue baca, yap akhirnya setelah memaksa bunda gue berhasil mendapatkan kembali novel gue yang sempat disita bunda karena gue harus belajar. Sebuah buku dengan sampul hard cover sudah ada ditangan gue.
Fraya`s Diary
ah, gue inget ini kan diarynya Cinta. Ada perasaan aneh saat gue menyentuh lembaran demi lembaran buku itu.
6 Januari
Aku melihatnya lagi, seperti biasa dia lagi main basket di halaman belakang rumahnya. aku tahu gak seharusnya aku kayak gini, Allah tolong aku supaya aku gak jatuh terlalu dalam.
8 Januari
Bunda masak Ayam kecap kesukaannya Kak Ian. Kakak kenapa pergi secepat ini?
15 Januari
Hari ini tepat satu tahun Kak Ian pergi, tadi waktu aku kesana aku sempat melihat dia disana. Sama sepertiku dia pasti kehilangan Kak Ian.
29 Februari
Ulang tahun Kak Ian yang ke 20. Kakak pasti senang jarang-jarang kan ulang tahun kakak ditulis di kalender.
14 April
Aku gak nyangka kalo aku bakal ketemu dia di lomba debate, aku pikir dia gak ikut gak taunya dia ada. dan tahu gak? Aku ngelawan dia, rasanya seperti menemukan kepingan yang hilang. Kalo Kak Ian ada dia pasti bangga karena kemampuan dia sudah hampir menyamai Kak Ian.
16 April
Aku menang. Yeah akhirnya aku menang juga, udah lama aku gak menang dari dia.
1 Juni
Akhir bulan ini dia 17 tahun. Betapa cepatnya waktu yang telah terlewat. Tahukah kamu siapa dia? Dia sahabat kecilku, aku pertama kali bertemu dengannya kelas 4 SD, waku itu kami sama-sama murid pindahan, kenangan pertama aku tentangnya adalah waktu dia menolongku dari anak-anak nakal itu. Aku masih ingat tangannya sempat tergores. Lucu ya, sekarang kita sudah berbeda, sudah mulai menjaga gak ada yang namanya main bareng lagi kita sudah tahu batasan masing-masing.
8 Juni
Besok dia tanding lawan sekolahku, aku tahu kemampuan dia dan aku yakin dia bakal menang ngelawan Ze, eh, bukannya aku harus membela sekolahku? Ah, tidak apa aku bakal bela siapapun yang menang. Doain dia menang ya.
Gue menutup diary itu, bayangan tentang kecelakaan dia kembali menghampiri ingata gue. selembar photo meluncur dari balik diary. Gue memungutnya lalu mengamati dengan seksama, gue tersenyum photo ini diambil waktu study tour kelas 6 SD.
**************
Tetesan hujan diluar kembali menemani sore gue, hari ini gue baru saja mendapatkan gelar juara umum dan untuk merayakannya teman-teman gue berinisiatif buat makan bareng lagipula udah lama juga kita gak kumpul bareng ya kurang lebih 3 minggu lah.
Harusnya gue udah pulang dari tadi tapi bunda gak ngizinin gue buat pulang sendiri mungkin Bunda trauma sama kecelakaan Cinta. Ah, gue jadi inget kejadian di tempat les waktu hujan itu, Cinta itu aneh dia suka hujan tapi takut petir, gue jadi pengen ketawa kalo inget kejadian itu.
“Kakak..” Suara imut itu membuyarkan lamunan gue, gue menoleh dan melihat Lea berlari ke arah gue, gak tahu kenapa gue rasa ada hal yang aneh dengan penampilannya hari ini.
“Ayo pulang.” Dengan sekuat tenaga dia menarik tangan gue, kuncir rambutnya bergerak kesana kesini. Kuncir? Gue speechless, sejak kapan lagi anak kecil ini suka dikuncir, apa mungkin sejak dikuncirin Cinta kali ya.
**********
“Rezaaaa.” Teriakan Tiara membuat gue terpaksa menutup telinga.
“Makan bareng yuk.” Dengan senyum yang sengaja dibuatnya dia udah berdiri di depan gue terus narik-narik tangan gue gak jelas.
“Gak usah teriak-teriak, ini sekolah bukan pasar.” Gue menarik tangan gue risih.
“Sori.” Dia menundukan mukanya sebersit rasa bersalah terpancar dari matanya.
“Ya.” Gue Cuma menjawab singkat lalu pergi entah kemana mungkin ke lapangan, kantin atau perpus.
******
“Aarghh.. dimana lagi tu buku” Gue mengeluarkan isi tas gue asal, buku diary cinta hilang, sumpah dodol banget sih gue benda sepenting itu bisa ilang. Bukannya tadi pagi buku itu masih ada? damn, kemana lagi itu buku.
Gue memejamkan mata gue sejenak, kali aja ada ingatan yang nyangkut tentang buku itu. Gak ketemu, seinget gue tadi ada di tas, kok sekarang gak ada? sumpah beneran ceroboh banget sih gue, itu kan satu-satunya benda yang dikasih Cinta.
Suara Owl City yang menyanyikan lagu fireflies terdengar, tangan gue sibuk mencari-cari sumber suara itu sementara kaki gue sibuk menghindari barang-barang yang ada di lantai. Oke kita lihat akibat kecerobohan gue kamar gue jadi mirip kapal pecah.
“Halo Ze?” Akhirnya setelah membuat kamar gue makin kayak kapal pecah gue menemukan juga benda itu.
“Za, bisa ketemu sebentar. Gue tunggu di tempat biasa.” Gitu aja? Dan telpon diputus. Sumpah kalo bukan kerena gue deket sama dia gue gak bakal datang. Semenjak kejadian itu gue sama Zera jadi deket, ya kita jadi sering main bareng atau latihan bareng.
“Kita main 15 menit, kalo lo menang gue bakal kasih tau lo sesuatu kalo lo kalah lo harus ngelakuin sesuatu buat gue.” Dia melemparkan bole basket seenaknya didepan muka gue, harusnya gue marah atas sikapnya yang arogan, tapi udahlah gue juga gak minat ribut sekarang.
5 menit pertama permainan berjalan seperti biasanya, tapi menit berikutnya permainan mulai panas, bukan karena gue tapi Zera yang tiba-tiba aja bermain pake emosi seolah-olah dia menumpahkan seluruh emosinya di basket, dia gak kayak orang tanding lebih mirip sama orang main sendiri, kayaknya keberadaan gue itu emang gak dianggap. Jujur aja gue bakal lebih milih buat ngalah daripada harus tanding kayak gini, yang ada gue jadi ikutan emosi. Satu-satunya cara berarti gue harus memenangkan pertandingan ini.
“Thanks.” Gue menangkap sekaleng minuman isotonik yang dilemparkannya. Pertandingan selesai dengan skor 9-10. Gue menang 1 angka diatas dia.
“Gue kalah.” Zera menunduk, gue Cuma terdiam sambil menghabiskan minuman tadi. “sekeras apapun gue berusaha, tetep aja gue kalah dan mungkin sampai kapanpun gue gak bakal menang.” Zera menatap lapangan kosong, gue kembali terdiam mencoba mencerna maksud kalimatnya.
“Gue  suka sama Cinta.”
“Hm.” Gue Cuma berkomentar singkat.
“Awalnya gue pikir gue Cuma suka, tapi lama-kelamaan perasaan itu semakin besar dan sekarang gue gak tahu apakah gue masih menyukainya atau lebih dari itu.” Sesaat gak ada satupun dari kita yang ngomong. Entah kenapa rasanya gue pengen marah sama dia atas pernyataannya barusan. dia pikir dia siapa bisa ngomong gitu? Tapi sesaat kemudian gue sadar, kalo gue gak punya hak marah sama dia.
“Hari demi hari akhirnya gue menyadari kalo bagi Cinta gue gak lebih dari kembaran kakaknya yang hidup, gue gak lebih dari refleksi kakaknya. Butuh waktu lama buat gue membiasakan diri dengan kenyataan itu. Dan akhirnya gue tau, kalo dia menyukai seseorang, seseorang yang akhirnya menjadi seseorang yang istimewa baginya. Tapi, sebelum gue mengetahui siapa orang itu. Dia pergi.” Zera menghela napas panjang.
“Nih.” Dia mengeluarkan sebuah buku dari tasnya.
“Ini..” Gue membolak-balikan buku itu. Diary Cinta? di Zera? Kok bisa?
“Tadi, pas gue nyamperin lo ke sekolah, gak sengaja gue melihat dia membuang diary itu sesaat sebelum pulang. Isinya belum gue baca, karena sampai Cinta meminta diarynya, diary itu tetep milik lo.”
“Thanks.” Gue memasukan diary itu kedalam tas.
*********
“Maksud lo ngebuang ini apa?!” Gue menaruh diary Cinta didepan muka Tiara.
“Nggg.. Gu.. Gue.. gak tahu Za.” Dia tersentak kaget.
“Bohong lo!”
“Gue.. Gue.. “ Tiara memutar-mutarkan bola matanya gelisah. “Aargh, ngapain sih lo peduli sama dia. Dia udah mati  Za, UDAH MATIII!”
“Asal lo tau ya, Cinta itu gak MATI!” Gue mengepalkan tinju kuat-kuat, kalo bukan karena dia itu cewek udah gue hajar kali.
“Ini?” Tiara merebut diary itu. “Gara-gara pemilik buku ini lo jadi berubah sama gue, lo gak peduli lagi sama gue. lo jahat.”
“Terserah.” Gue mengangkat kedua bahu gue lalu pergi begitu aja. Dibelakang gue anak-anak kelasnya pada ngeliatin gue, gak peduli dan mungkin sekarang Tiara lagi nangis bombay sambil ngadu ke kakaknya.
*******
“Kemaren gue ketemu Cinta.” Kata-kata Zera barusan membuyarkan lamunan gue.
“Kok bisa?” Gue bertanya tanpa mengalihkan pandangan gue.
“Tanding 15 menit, kalo lo menang gue bakal kasih tau. Tapi kalo lo kalah.. yaa... simpen aja rasa penasaran lo.”
“Gak usah, gue males. Kalo lo gak mau ngasih tau gue pulang.” Gue menyambar tas gue lalu pegi.
“ZA!.” Gue menoleh, sebuah bola berwarna biru melambung kearah gue.
“Kemaren anak kelas gue ketemuan sama dia. Gue gak tau sampe kapan dia disini.” Teriakan Zera membuat beberapa orang menoleh kearah kami. Gue terdiam sesaat lalu mengangguk. Sekarang gue Cuma pengen cepet-cepet nyampe rumah, berharap Cinta dan keluarganya main kerumah gue jadi gue bisa ketemu sama dia. Halah ngarep banget sih gue lagipula kalo emang dia sama keluarganya kerumah gue, gue mau ngomong apa?
“Assalamualaikum.” Gue mendorong pintu depan pelan. 2 pasang sepatu yang gak gue kenal terhampar di rak sepatu luar. Pikiran gue mulai melayang-layang lagi entah kemana.
“Eh, Reza. Udah gede ya.” Seorang perempuan seusia bunda menyambut gue. gue speechless,  nyokapnya Cinta sama Bokapnya Cinta kesini? Sejak kapan? Cinta mana?
“Apa kabar tante, oom?” Gue menyapa mereka basa-basi.
“Baik, kamu gimana?”
“Baik tante, Cinta gak ikut tante?” Daripada gue penasaran gak jelas mending gue tanyain aja.
“Katanya mau main sama temennya.” Sebersit rasa ngilu muncul, kenapa dia lebih milih main sama temennya daripada ketemu gue? halah, emang sepenting apa sih gue bagi dia.
“Oh gitu, Oom tante Reza masuk dulu ya.”
*****
Lo tau apa rasanya menunggu orang yang kita harapkan datang, tapi lo gak pernah ketemu sama orang itu sedangkan teman-teman lo sibuk bercerita pernah ketemu dia. Lo tau rasanya gimana? Gak enak, sakit, pengen marah, kecewa. Ya begitulah yang gue rasain sekarang, udah 2 tahun gue gak ketemu Cinta, udah 2 tahun gue berharap ketemu dia Cuma buat balikin diary dia, atau Cuma buat say hello doang. tapi nyatanya? Gak sama sekali. Beberapa kali dia kesini tapi gue gak pernah sekalipun ketemu dia.
“Cintaa.” Seseorang memanggil namanya, gue refleks menoleh lalu mengedarkan pandangan gue kesekitar. Nihil, gue kembali mendesah kecewa.
“Itu Cinta.” Zera menunjuk sesuatu dengan perasaan gembira atau apapun namanya  gue kembali refleks menoleh. Gue speechless, gak percaya sama apa yang gue liat, seorang anak kecil berumur 5 tahun dengan rambut kuncir dua dan memegang balon sedang dipeluk, dicium atau dijawil-jawil pipinya oleh ibu-ibu disampingnya.
“Haha. Gak berubah ya lo, masih ngarep kayak dulu.” Suara ketawa Zera menyadarkan gue. “Cepetan, gue gak mau telat ujian gara-gara lo.” Masih dengan ketawanya Zera meninggalkan gue dibelakang.
“Sialan lo.” Gue buru-buru menyusul Zera. Kertas-kertas ujian, sekumpulan anak-anak calon arsitek dan kampus dengan almamater kuning masih menunggu gue.
Gue gak tahu sampai kapan perasaan ini bertahan, tapi yang jelas gue gak mau terlalu peduli dengan perasaan itu, biarkan saja perasaan itu tumbuh dan hilang dengan sendirinya, toh gue yakin cepat atau lambat, dengan perasaan yang sama atau berbeda gue pasti bakal ketemu dia dan sampai saat itu tiba gue janji, gue bakal tetap menyimpan diary itu. Dan untuk saat ini lebih baik gue merancang masa depan gue daripada sibuk mikirin dia yang gak jelas. gak jelas keberadaannya dan pastinya gak jelas perasaannya sama gue saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar