“...Saya tidak
setuju dengan pendapat anda, menurut saya teori Darwin adalah teori yang tidak
masuk akal..”
“Interupsi,
bagaimana mungkin anda berkata seperti itu padahal anda mengetahui jika
bukti-bukti penemuan itu ada.” Aku mengangkat tanganku sambil menatap tajam
cewek didepanku.
“Oh, itu
jelas sekali apakah pernah anda menemukan monyet yang berevolusi menjadi
manusia, lagipula anda tahukan manusia pertama didunia adalah nabi adam dan
nabi adam adalah seorang manusia, saya tegaskan sekali lagi manusia.” Ia
membalas menatapku tajam tapi entah mengapa diantara tatapan tajamnya aku
melihat kesedihan.
“Jadi anda
mau bilang kalau semua teori Darwin adalah omong kosong? Dan semua penemuannya
adalah palsu? !”
“Pada
faktanya begitu kan? Lagipula pada zaman dahulu monyet juga sudah ada, dan anda
tahu kan kalau jenis monyet didunia ini tidak hanya satu. Bisa saja yang
ditemukan Darwin adalah fosil monyet jenis A, pada penemuan yang kedua B,
begitu juga seterusnya..”
“Teng.. Teng..
Teng..” Suara bel dibunyikan tiga kali itu artinya waktu habis.
“Wuah seru
sekali sepertinya sampai-sampai saya tidak menyadari waktu yang berlalu, oke
buat kedua tim silahkan bersalaman dan kembali ke tempat masing-masing.”
Seorang MC mempersilahkan kami bersalaman.
Gue menangkupkan tangan didepan dada sambil tersenyum dan sepertinya ia
juga melakukan hal yang sama.
Gue Caprinsa
Reza Dewantara. Kalian cukup panggil gue Reza, gue anak basket dan meskipun
bukan kapten basket gue termasuk anak yang populer tapi bukan gara-gara
prestasi basket yang gue raih melainkan prestasi debat. Yap gue anak debat, gue
suka banget sama yang namanya debat bagi gue debat bukan Cuma bagaimana caranya
agar kita bisa mempertahankan argumen kita, tapi bagaimana kita mempertahankan
argumen, mengalahkan argumen lawan tapi gak kepancing emosi, karena banyak orang kalah
debat hanya karena masalah emosi. Oke, sekarang gue lagi ikut lomba debat
disalah satu universitas islam di kota gue. Oya, cewek yang tadi ngelawan gue
pas debat tadi namanya Cinta atau lebih lengkapnya Fraya Cinta Priscillia. Dia
teman gue bukan lebih dari sekedar teman dia sahabat gue. Kita udah sahabatan
dari kecil mungkin karena orang tua kita dekat kali ya, nyokap dia itu senior
nyokap gue waktu kuliah dan mereka akrab banget.
“Selamat ya
Cin, gue gak nyangka ternyata lo jago debat juga.” Gue menghampiri dia saat
turun dari panggung debat.
“Sama-sama
lo juga hebat.” Dia mengacungkan kedua jempolnya kearah gue lalu pergi bersama
teman-temannya.
“Cin? Cinta maksud
loh? Cie ternyata tuan argumen bisa jatuh cinta juga.” Awan menghampiri gue
sambil senyum-senyum gak jelas.
“Namanya
emang Cinta, kalo lo gak percaya tanya aja.” Tanpa mempedulikan Awan yang masih
bengong gue pergi dari situ nyusul teman-teman yang lain.
**********
Gue menatap piala
dihadapan gue tanpa berkedip “Juara 2 lomba debat tingkat SMA”. Juara 2? Kok
juara 2 bukannya juara 1 ya? Bukankah kemaren gue udah mengeluarkan kemampuan
terbaik gue?.
“Tidak
apa-apa yang penting kamu sudah mengeluarkan kemampuan terbaik kamu.” Pak Nanda
menepuk pundak gue pelan.
“Tapi
pak...”
“Sudah tidak
apa-apa ayo cepat kembali ke kelas sekarang.” Ia mengisyaratkan gue untuk
mengikutinya, gue mengangguk pasrah.
**********
Gue menatap
motor matic yang ada didepan rumah. “Cinta sama nyokapnya pasti kesini.” Gue
bergumam pelan.
“Assalamualaikum.”
Gue menenteng tas sekolah gue yang beratnya banget banget.
“Waalaikumsalam,
sini salam dulu sama tante Fiona.” Gue tersenyum mengangguk, bener kan kata gue
pasti ada Cinta, nyokapnya aja ada masa anaknya enggak.
“Bunda,
tante Reza ke kamar dulu ya.” Gue tersenyum sopan.
“Gimana
hasil debatnya Za?” Pertanyaan bunda membuat langkah gue terhenti.
“Gak bagus
Bun, Reza kalah.” Dengan tampang lesu gue menoleh ke arah bunda.
“Yaudah gak
apa-apa mungkin itu emang yang terbaik buat kamu.” Gue Cuma tersenyum maksa.
“Le..
Azalea..” Gue memanggil adik gue berkali-kali tapi kok dia gak muncul-muncul ya
biasanya juga dipanggil sekali langsung nongol itu anak.
“Le.. Aza..”
Belum sempat gue selesai memanggilnya tiba-tiba aja dia udah nongol didepan gue
dengan senyum manisnya. Akemi Putri
Azalea adalah adek gue yang umurnya 12 tahun dibawah gue, yap dan selama 12
tahun itulah gue merasa jadi anak tunggal, jujur aja awalnya gue gak suka dia
ada kenapa? Karena dengan kehadirannya berarti status anak tunggal lepas dari
diri gue dan digantikan oleh status kakak, tapi lama-lama gue luluh juga
ngeliat sifatnya yang lucu dan ngegemesin.
“Apa Kak?”
“Siapa yang
nguncirin kamu kayak gini?” Gue memperhatikan rambutnya yang dikuncir dua, lucu
sih tapi gak biasanya dia mau dikuncir.
“Kak Cinta,
aku lagi maen masak-masakan sama kak Cinta, kakak ikutan yuk.”
“Hah? Ikutan
gak ah.” Gue menggeleng. Masa gue cowok kelas 11 main masak-masakan, ogah
mending gue main PS.
“Ih kakak
ayo.” Dia masih sibuk menarik-narik tangan gue dan keliatannya usahanya gak
berhasil tuh.
“Kenapa sih
ribut-ribut.” Gue menoleh kearah bunda yang tiba-tiba muncul didepan gue.
“Ini nih bun,
masa Reza disuruh main masak-masakan kan..”
“Udah
sekali-kali kamu turutin adek kamu.” Habis ngomong gitu bunda pergi.
“Ayo
Kakak..” Masih dengan usahanya yang siaa-sia dia menarik tangan gue.
“Iya deh.”
Gue berjalan pasrah.
“Kak
Cintaaaa.” Dengan suara imutnya dia berteriak-teriak memanggil Cinta.
“Sini
bantuin kakak.” Sebuah senyum mengembang diwajahnya tapi senyum itu berubah
jadi ekspresi menahan tawa waktu dia ngeliat gue ditarik-tarik sama Azalea.
“Gak usah
ketawa.” Dengan suara dingin gue berhasil membuat dia diam meskipun sebenarnya
ekspresi ketawa masih terpancar dari matanya. “Oh ya, selamat ya lo menang
lomba kemaren.”
“Oh itu,
sama-sama kenapa? Gak ikhlas ya gelar juaranya direbut orang.” Ia tertawa
pelan.
“Biasa aja.”
Gue memalingkan muka. Kalah dari Cinta bukanlah suatu hal yang aneh waktu dulu
gue satu TK, SD bahkan SMP sama dia, dan dari SD kita emang udah sering
kejar-kejaran nilai kalau gak dia yang juara 1 ya gue yang juara 1,
sampai-sampai kita nyabet gelar Ratu dan Raja di SD, Pangeran dan Putri di SMP.
Gelar itu sama aja kayak putra dan putri terbaik sekolah.
“Oh ya Za,
tolong bantuin motongin sayuran yang ada di mangkok putih ya.” Dia nyuruh gue,
gue diam aja “Emang mau bikin apa lo?” Tanpa mengalihkan muka gue bertanya.
“Soup
Cream.”
“Emang bisa
?” Dengan nada mengejek gue bertanya. Soup Cream itu makanan favorit kita, soup
cream nyokapnya Cinta itu enak banget tapi itu kan nyokapnya bukan dia, kalo
dia? Mana bisa terakhir makan soup cream buatan dia rasanya aneh banget
keasinan.
******************
Bro, jgn lpa
lthn nnti sre.
Y. gue membalas sms itu setengah hati, gak heran banyak yang bilang anak basket
sekolah gue menang tampang sama skill doang tapi kemampuannya? Nol besar
buktinya seminggu lagi UKK masih aja sempet latihan basket. Kalau bukan karena final
basket yang diadaiin 2 hari sebelum UKK gak bakal deh gue ikut-ikutan yang
kayak gini.
kak saya gak
bisa les hari ini, ganti hari besok aja gimana?. Gue membaca sms itu sekali lagi lalu
mengirimnya.
Ya. Gak sampai satu menit balasan sms itu gue
terima. Kak Rio koordinator tempat gue les emang deket sama gue selain itu dia
juga mantan anak basket sekolah gue diangkatannya dulu, jadi dia tau gimana
gilanya kita kalau latihan.
“Dateng juga
lo, kirain lo lebih milih penjara suci itu.” Teriakan Dani menyambut kedatangan
gue ketempat itu, sontak aja semua anak langsung nengok kearah gue.
gue sih Cuma tersenyum kecut aja “penjara
suci.” Itu sebutan buat tempat les, bagi mereka akademis itu gak penting yang penting itu basket. Dasar otak udang.
“Ayo mulai.”
Dani melemparkan bola dan permainanpun dimulai.
***********
“Reza
semangat ya kamu pasti bisa.” Tiara menghampiri gue sambil tersenyum.
“Cie Reza
dicariin tuh sama pacar lo.”
“Thanks.”
Gue Cuma melihat wajahnya sekilas lalu pergi ke lapangan basket. Sumpah
lama-lama enek gue sama ni anak. Tiara Anggrek Florezia mantan gue termasuk
salah satu anak populer disekolah, gadis sampul majalah our world, salah satu
majalah remaja paling laku, anggota cheers, lumayan pintar dan posesif.
“Gila ya,
beneran cinta mati kali dia ama lo.” Awan mendribel bola disamping dan
melemparkannya asal kearah ring.
“Gak
peduli.” Gue berhenti sejenak. Kalau dipikir-pikir ada benernya juga kata-kata
Awan barusan, sejak kita putus dia gak pernah berhenti ngejar-ngejar gue, satu
alasan yang sering gue denger adalah karena dia masih menyukai gue.
“Udah terima
aja daripada lo berurusan sama kakaknya lagi.” Gue Cuma tersenyum sinis, kakak
Tiara leader genk rusuh disekolah gue, Waktu gue mutusin dia dan dia naangis
sejadi-jadinya, gue dihajar habis-habisan sama genk kakaknya, untung ada Awan
kalau gak, mungkin gue udah mati.
Gue sama Awan
emang udah sahabatan dari dulu kita ikut basket, meskipun kita udah sahabatan
lama Awan gak pernah tau tentang Cinta, wajar aja gue gak pernah memperkenalkan
dia ke temen-temen gue.
‘Oya, ntar
sore gue les.”
“Sip.” Awan
mengacungkan kedua jempolnya “Jangan lupa bagi-bagi ya.”
“Jangan
ngarep deh.” Gue melemparkan bola basket kearahnya lalu pulang.
****
“Kak Rio,
kelas saya dimana?” Gue menghampiri Kak Rio yang sedang berdiri didepan pintu
resepsionis.
“Sebelas A.”
“Thanks.”
Gue berjalan menyusuri koridor les baru akan dimulai 10 menit lagi.
Gue melihat
sekilas nama kelas dihadapan gue “XI-A” . bukan apa-apa hanya untuk memastika
gue gak masuk kelas yang salah.
“Krekk.” Gue
membuka pintu itu beberapa orang menoleh kearah gue.
“Hei
Za,ngapain lo disini bukannya lo anak sebelas D?” Andre yang duduk di pojok
menatap gue heran.
“Pindah
kelas, kemarin sibuk.” Gue berjalan kearahnya dan menaruh tas disampingnya. Gue
kenal Andre pas kita try out. Waktu itu gue sama dia telat jadi kita kerja sama
buat bikin alasan telat.
“Tumben lo
baru datang.”
“Oh, tadi
ada perlu dulu.” Suara seseorang yang menjawab pertanyaan gue membuat gue
mengangkat kepala dari buku didepan gue.
“Cinta?” Gue
Cuma bergumam pelan.
Anak-anak
sebelas A ternyata cukup rusuh juga meskipun gak serusuh kelas gue, beberapa
anak sepertinya membicarakan gue, bukannya sombong sih Cuma dari tadi beberapa
cewek ngelirik kearah gue sambil ketawa-ketawa gak jelas gitu. Satu hal yang
baru gue sadari adalah dari tadi ada satu cowok yang selalu ngedeketin Cinta
tapi anehnya Cinta cuek-cuek aja. Namanya Adam kalau menurut gue dengan gayanya
yang casual dia cukup keren, dia keturunan Indo-jepang keliatan dari
matanya yang sipit khas jepang, pintar dan sepertinya dia bintang kelas.
“Jedgerrrr.
Jedgerr..” Gue melihat ke luar dinding resepsionis yang memang semuanya terbuat
dari kaca.
“Aaarghh..” Cinta
spontan melonjak saat mendengar bunyi guntur itu. Gue tertawa kontan aja dia
melirik kearah gue, mata membelalak antara kaget dan kesal mungkin heran kenapa
gue disini.
“Reza, kok
disi...” belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya seseorang menghampirinya.
“Kenapa Ta?”
Adam mendekat kearahnya.
“Nope.”
Cinta menjawab cuek.
“Oh, kirain
kenapa.” Adam langsung salah tingkah. Lucu juga bagaimana cowok sekelas dia
dicuekin cewek, gue yakin seumur hidupnya gak pernah ada cewek yang cuek kayak
gitu sama dia.
Jam sudah
menunjukan pukul 7 malam tapi hujannya
gak reda juga. sebenarnya bisa aja gue nerobos hujan tapi gue gak mau.
Akhir-akhir ini gue udah memforsir tubuh gue buat latihan, sekali gue nekat
main hujan-hujanan besoknya gue bakal sakit dan terancam gak ikut pertandingan.
“Sial, gue
kan bawa jas hujan.” Gue menepuk jidat gue baru inget kalau gue di bagasi motor
kan gue selalu membawa jas hujan.
“Ma, bisa
jemput aku gak?..” samar-sama gue mendengar percakapan Cinta dan nyokapnya, ya
ampun anak itu masih aja manja, keliatannya doang udah dewasa tapi kalau udah
kayak gini gak ada bedanya sama anak kecil. Gue berlari ke arah parkiran
mengambil jas hujan dan masuk lagi ke ruang resepsionis.
“Nih pake.”
Gue menyodorkan jas hujan yang tadi gue ambil dan pulang tanpa memakai jas
hujan.
******
“Halo. Wan
tolong bilangin gue zin gak masuk hari ini,ada urusan keluarga.” Gue mematikan
sambungan telpon. Terpaksa hari ini gue bohong kalau sampai mereka tahu gue
sakit bisa-bisa gue gak diizinin ikut pertandingan. Sekolah gue emang ketat
banget kalau sampai ada anak yang sakit seminggu sebelum pertandingan basket,
siap-siap aja anak itu bakal kehilangan kesempatan untuk ikut tanding, maklum
aja selama ini sekolah gue emang selalu jadi juara basket.
Gue menatap
hujan yang turun dari kamar gue, hujan? dulu gue sering main hujan-hujanan
bareng Cinta, entah sejak kapan kebiasaan itu lama-lama menghilang, mungkin
sejak kita sudah beranjak puber, mungkin saat kita sudah mengenal rasa malu
atau mungkin saat kita sadar kalau remaja seumur kita sudah tidak pantas untuk
melakukannya.
“Kak
Rezaaa.” Sesosok makhluk lucu memasuki kamar gue sambil membawa sebuah
bungkusan.
“Apa Lea?”
Gue menghampiri sosok itu.
“Ini dari
Kak Cinta.” Dia menyerahkan bungkusan itu, gue melihat isinya sekilas.
“Ini buat
kakak juga?” Gue mengambil sebatang coklat dari bungkusan itu, satu hal yang
gue tahu Cinta itu bukan anak yang suka ngasih hadiah ke cowok meskipun Cuma
permintaan maaf.
“bukan, itu
punya aku tapi aku udah punya buat kakak aja ya.” Azalea tersenyum manis lalu
meninggalkan gue sendirian lagi
*****
Perrtandingan
bakal dimulai beberapa menit lagi, pertandingan ini berlangsung di GOR kota gue
jadi gak heran kalau yang datang juga banyak ditambah kenyataan kalau sekarang
adalah pertandingan final jadi gak heran kalau yang datang banyak.
“Prittt..”
Peluit tanda permainan dimulai dibunyikan, semua temen-temen gue udah siap di
tempat masing-masing. Gue menempati tempat gue sebagai Shooting Guard
sedangkan Awan sebagai Starter.
“Za.” Gue menangkap
umpan Awan dengan sigap. Dan melakukan tembakan.
Pertandingan
selesai dengan skor 50-49 dan kemenangan berada di tangan sekolah gue.
“Selamat ya.
Kalian emang yang terbaik.” Zera Kaptem tim lawan menepuk pundak gue, gue
memperhatikan mukanya kayaknya gak asing.
“Thanks
bro.” Gue tersenyum. Tadi waktu kita lagi istirahat sekilas gue melihat Cinta
dan sekarang gue tau kenapa dia ada disini,lawan gue barusan ternyata
sekolahnya.
“Rezaa.”
Tiara melambaikan tangannya lalu berlari kearah gue. Gue menghela napas berat.
“Selamat ya,
kalian menang.” Dia mengulurkan tangannya. Gue diem.
“Hmm, gak
apa.” Dia menarik tangannya lagi. “Oya, aku mau makan sama yang lain. Kamu mau
ikut gak?” Dia menatap gue dengan pandangan penuh harap.
“Gak deh, lo
aja.” Males banget ikut bareng dia, pasti nanti dia bakal bertingkah super
posesif sama gue, belum lagi gue bakal jadi bulan-bulanan anak-anak
“Kenapa? Aku
traktir deh.” Dia masih berusaha membujuk gue dan kayaknya bentar lagi dia
bakal narik-narik tangan gue kayak anak kecil minta dibeliin permen.”
“Ngg, gue..”
Gue berpikir keras mencari alasan, dan thanks god entah kenapa tiba-tiba saja
Cinta sedang berjalan didepan gue.
“Cintaa.”
Gue memanggil namanya, dan hebat saat itu juga perhatian Tiara teralihkan
kearahnya . Dia menoleh kearah gue.
“Aku jadi
nganterin kamu ke toko buku, bentar ya kamu tunggu di parkiran aja bentar lagi
aku nyusul.” Gue mendekat kearahnya dengan Tiara yang masih mengekor dibelakang
gue. Cinta Cuma menatap gue heran. Gue balas menatapnya dengan pandangan
memohon sambil menunjuk-nunjuk cewek dibelakang gue.
“Cinta? Jadi
dia alasan kamu menjauh dari aku? Kamu udah punya pacar.” Kata-kata Tiara
barusan mengehntikan langkah gue, Ah, gue
ngerti terima kasih tante Fiona karena telah memberi anak tante dengan nama
CINTA dan itu telah membuat makhluk dibelakang gue percaya kalau dia pacar gue
bahkan tanpa perlu gue berbohong.
Gue
membalikan badan gue lalu tersenyum, seperti dihempaskan ke dalam tanah
seketika itu juga raut muka Tiara berubah dia berbalik meninggalkan gue.
“Thanks ya,
lo udah nyelamatin gue dari makhluk nyebelin itu.” Gue berlari kearah Cinta
yang masih menatap gue heran.
“Oh, ya it`s
OK.” Cinta lalu pergi begitu saja mungkin mengambil motornya atau menunggu di
jemput orang tuanya.
Cinta anak
tunggal setahun lalu kakaknya meninggal akibat kecelakaan, dan sejak itu Cinta
gak pernah diizinin bawa kendaraan sendiri kecuali kalau orang tuanya sibuk
jadinya mereka gak bisa antar jemput dia.
Gue berjalan
ke parkiran motor mengambil satria
ninja favorit gue lalu bersiap pergi, gue memperhatikan orang-orang
sepanjang jalan dan ternyata gak banyak orang yang tersisa, pertandingan udah
selesai sejam yang lalu. saat gue hendak keluar GOR gue melihat Cinta sedang duduk
sambil memandangi Hpnya berkali-kali abis itu dia berjalan keluar mungkin bosan
menunggu orang tuanya yang tak kunjung datang.
“Brukk.”
“Tolongin..
Tolongin.”
“Ada yang
ketabrak.”
“Sialan lo.”
“Kurang ajar
lo.”
Suara
orang-orang yang ribut dibelakang gue menyita perhatian gue, gue turun dari
motor dan menghampiri mereka.
“Kenapa?”
masih dengan gaya gue yang cool gue bertanya ke mas-mas yang ada disana.
“Ada cewek
ketabrak mobil, tabrak lari.” Dia buru-buru meninggalkan gue.
“Ketabrak
mobil? Tabrak lari?” Kenangan tentang Kak Ian menghampiri ingatan gue. gue
berlari kearah kerumunan orang. Seketika muka gue pucat.
“Cinta?”Gue
berteriak panik, Gue mengangkat tubuhnya, muka dan badan dia berlumuran darah,
tangannya masih memegang HP yang tadi dia main-mainkan.
“Cinta,
Bangun Cin..” Gak pake mikir gue menyetop taksi yang lewat lalu memasukan Cinta
kedalam. Tujuan gue Cuma satu. Rumah sakit terdekat. Ingatan gue kembali ke
masa setahun lalu. “Dejavu” Gue mendesah pelan.
“Kak Ian.”
Cinta melambai-lambai tangannya. Kak Ian menoleh lalu tersenyum ia berlari
menghampiri kami. Hari ini kak ian ikut lomba debat antar mahasiswa dan Cinta
datang untuk memberinya semangat sedangkan gue karena gue emang udah tertarik
sama debat dari dulu jadinya gue ikut.
“Ah, ampun
kok bisa lupa?Tunggu bentar ya.” Kak Ian menepuk jidatnya, tersenyum lebar
kearah kami lalu berbalik lagi. Cinta memandang gue heran, gue mengangkat bahu
gue “Gak tahu.” . Gak lama kemudia Kak Ian balik lagi sambil membawa almamater
ditangan kirinya dan sebuah kado di tangan kanannya. Gue tersenyum beberapa
minggu lalu ia berjanji akan memberi Cinta hadiah jika ia berhasil masuk tiga
besar di kelasnya dan gue kira itu bercanda doang gak taunya beneran.
“KAK IANN.... AWASS.” Teriakan Cinta membuat gue
melihat kearah kak Ian yang sedang menyebrang.
“Buukkk.”
“Kak
Iannnn.”
“Tolongin-tolongin.”
Gue terdiam. Suara orang-orang ribut memecahkan pikiran. “Ada apa?” Gue menatap
orang-orang panik. Menatap Cinta yang entah sejak kapan udah duduk disamping
kak Ian sambil menangis.
“Dek.. Dek..
Udah sampe.” Suara sopir taksi membuyarkan lamunan gue.
“Nih pak,
buat ongkos sama cuci mobilnya. Thanks ya Pak” Gue mengeluarkan selembar uang
seratus ribuan lalu berteriak memanggil perawat untuk membawa tempat tidur
dorong. Sepanjang koridor gue ikut berlari mendorong tempat tidur itu.
“Mama..
Papa.. Kak Iann..” Ia memanggil nama mereka pelan. Gue gak tahu kenapa tapi
suaranya seperti orang kesakitan. Gue menatapnya dalam diam berusaha memahami
keadaannya.
“Rezaa.” Ia
memanggil nama gue. Gue diam gak tahu apa yang harus gue lakuin, gue tahu Islam
melarang kita untuk menyentuh lawan jenis yang bukan makhramnya, tapi sekarang
ini Cuma gue yang ada disampingnya.
“Ya Allah, tolonglah
hambamu ini.” Gue berkata pelan.
“Tunggi
disini ya.” Perawat yang tadi menghentikan langkah gue lalu menutup pintu yang
ada dihadapan gue. Gue mondar-mandir didepan pintu, gue harap dia selamat.
Tante Fiona udah gue kabarin mungkin 30 menit lagi beliau sampe, gue bersyukur
saat itu Oom Putra bokapnya Cinta lagi bersama beliau, gue gak bisa bayangin
apa yang akan terjadi kalau Tante Fiona lagi sendirian mungkin beliau bisa
pingsan atau terkena penyakit jantung.
“Gimana
keadaanya dok?” Seorang dokter yang masih menggunakan masker keluar dari
ruangan.
“Teman anda
kehilangan banyak darah, kita butuh donor darah dan saat ini stok di..”
“Apa
golongan darahnya?” Gue memotong omongan Dokter itu gue tahu apa yang dimaksud
dokter itu.
“AB.” Gue
mondar-mandir lagi gak tahu apa yang harus gue lakuin, nunggu keluarganya
datang gak akan menolongnya. Tiba-tiba aja sesuatu terlintas di pikiran gue.
“Saya dok,
saya bisa jadi pendonornya.” Gue berteriak panik. Gue tahu umur gue belum
nyampe 17 tahun dan gue juga belum dapat izin tertulis dari ortu buat
mendonorkan darah tapi gue yakin ortu gue terutama nyokap pasti bakal ngizinin.
“Anda
siapanya?” Dokter itu menatap gue, apa yang harus gue lakuin? Ngaku kalo gue
kakaknya? Bisaaja sih tapi kalo beliau gak percaya gimana? Secara tadi gue udah
bilang “tolong teman saya.”, ngaku jadi temannya? Bukannya gue gak mau tapi
temen gue pernah punya pengalaman kayak gitu dan akhirnya dia gak dibolehin
atas alasan belum mendapat izin dari ortunya.
“Saya..
Ngg.. Pacarnya.” Damn gue berteriak dalam hati kalo ortu gue, atau
ortunya dia tahu gue ngaku-ngaku kayak gini pasti gue udah diomelin bukan
apa-apa, karena seharusnya gue bisa lebih pintar untuk tidak mengaku-ngaku
sebagai pacarnya, gue tahu pacaran itu gak boleh makanya gue putus sama Tiara.
Dokter itu
menatap gue dari atas sampai bawah lalu mengangguk dan masuk ke dalam. Gue
mengikuti dari belakang. Gue mengatupkan rahang keras-keras gak percaya dengan
apa yang ada di depan gue. Cinta terkulai lemas, mukanya pucat pasti akibat
kekurangan darah, tetes-tetes darah masih mengalir dari tangannya.
Gue
merebahkan diri di samping ranjang dia, Selang transfusi tertancap di tangan gue
yang satunya, gue memperhatikan setiap darah yang berjalan melewati selang
transfusi menuju tangan Cinta, yap karena tidak banyak waktu yang tersisa
akhirnya dokter memutuskan untuk mentransfusi langsung.
Tiba-tiba
saja tubuh Cinta mengejang para perawat dan dokter kembali sibuk dengan
dirinya, gue gak tahu apa yang gue rasain antara panik, takut dan kalut. Gue
memaksakan tubuh gue buat bangkit, dan saat gue berdiri tiba-tiba saja
pandangan gue mengabur dan gelap.
*******
Gue mengerjap-ngerjapkan
mata pelan, seberkas sinar yang menyilaukan menyambut gue. gue memejamkan mata
gue sesaat lalu kembali membuka mata.
“Bun..” Gue
menatap Bunda yang entah sejak kapan menangis, matanya sembap dan tangannya
menggenggam tangan gue.
“Rezaa? Kamu
udah sadar sayang.” Bunda menatap gue. ada aura kesedihan yang terpancar dari
tatapannya. Gue Cuma mengangguk hal terakhir yang gue ingat adalah saat gue
mentrafusi darah gue ke Cinta.
Cinta?
Dimana dia sekarang? Is she okay?. Gue menyapu pandangan gue kesekeliling
ruangan. Gak ada satupun keluarga Cinta disini.
“Bun,
Cintaa..” Gue balik menatap bunda, bunda Cuma tersenyum samar.
“Dia udah
ditangani dengan baik.” Kata-kata Bunda gantung. Apa maksudnya udah ditangani
dengan baik? Gue kembali menatap Bunda heran.
“Cinta
mengalami gegar otak, sebagian ingatannya menghilang selain itu di otaknya
terjadi penggumpalan. Jadii..” Gue menegang seketika, gue merasakan sesuatu
yang gak gue tahu itu apa, gue takut gak tau kenapa gue takut kehilangan dia.
“Tante Fiona
membawa dia ke Singapura lagipula sejak sebulan yang lalu Oom Putra sudah
dipindah tugaskan kesana.” Gue mencernana kalimat itu secara perlahan. Cinta?
Pindah? Berarti gue gak bakal ketemu dia lagi.
“Tadi
sebelum berangkat tante Fiona minta bunda ngasih ini ke kamu, bunda gak tahu
isinya apa mungkin diarynya Cinta..” Gue menatap Bunda heran. Buat apa?.
“Kemungkinan Cinta sembuh kecil jadi buat jaga-jaga tante Fiona meminta kamu
menjaga ini.” Bunda menyerahkan sebuah buku ke tangan gue.
“Za, Bunda
jemput Lea dulu, kamu disini sama teman-teman kamu ya.” Bunda mengelus rambut
gue lembut, sejujurnya gue agak risih dengan perlakuan Bunda yang kayak gitu di
depan teman-teman gue tapi mau giaman lagi Bunda kan melakukan itu karena
sayang sama gue.
“Hei Wan.”
Gue menyapa Awan yang tersenyum ke arah gue.
“Cinta
siapa? Cewek yang waktu itu jadi lawan lo di lomba debat bukan?” Gue Cuma
mengangguk.
“Cantik
juga, lo pacaran sama dia?”Pertanyaan Awan barusan membuat gue menatapnya
tajam. Bukannya merasa bersalah dia malah tertawa.
“Lo tau gak,
berapa lama lo pingsan?” Dani yang entah sejak kapan berdiri disamping Awan
bertanya sama gue. yaiyalah sama gue emang siapa lagi yang abis pingsan selain
gue. Gue Cuma menggeleng.
“Sekitar 28
jam.” Gue membelalak kaget. Selama itukah? Pantesan badan gue sakit semua.
“Ini dari
kita.” Dani menunjuk sebuah bingkisan atau parsel yang ada disamping ranjang
gue. “Kalo itu dari sekolahnya Zera, katanya sekaligus permintaan terima
kasih.”
“Sekarang
jam berapa? Gue belum shalat.” Gue melirik pergelangan tangan kiri gue biasanya
selalu ada jam yang melingkar disana tapi kok gak ada ya? Mungkin Bunda sudah
mencopotnya.
*********
Gue
membolak-balikan tubuh gue bosan, harusnya hari ini gue ada disekolah buat
ngerjain soal UKK. Harusnya hari ini gue lagi pusing berkutat dengan
rumus-rumus kimia. Tapi nyatanya gue malah ada dirumah sakit, dokter belum
ngizinin gue pulang katanya gue baru bisa pulang 3 hari lagi. Mending disini
gue ada temennya orang gue disini sendirian, bunda baru bisa datang jam 3 nanti
katanya sih ada pesanan yang harus diselesaikan dengan cepat, ya begitulah
bunda gue selalu sibuk dengan toko kuenya.
Gue
meraba-raba laci disamping ranjang gue kali aja ada novel yang belum gue baca,
yap akhirnya setelah memaksa bunda gue berhasil mendapatkan kembali novel gue
yang sempat disita bunda karena gue harus belajar. Sebuah buku dengan sampul
hard cover sudah ada ditangan gue.
Fraya`s Diary
ah, gue
inget ini kan diarynya Cinta. Ada perasaan aneh saat gue menyentuh lembaran
demi lembaran buku itu.
6
Januari
Aku
melihatnya lagi, seperti biasa dia lagi main basket di halaman belakang
rumahnya. aku tahu gak seharusnya aku kayak gini, Allah tolong aku supaya aku
gak jatuh terlalu dalam.
8
Januari
Bunda
masak Ayam kecap kesukaannya Kak Ian. Kakak kenapa pergi secepat ini?
15
Januari
Hari
ini tepat satu tahun Kak Ian pergi, tadi waktu aku kesana aku sempat melihat
dia disana. Sama sepertiku dia pasti kehilangan Kak Ian.
29
Februari
Ulang
tahun Kak Ian yang ke 20. Kakak pasti senang jarang-jarang kan ulang tahun
kakak ditulis di kalender.
14
April
Aku
gak nyangka kalo aku bakal ketemu dia di lomba debate, aku pikir dia gak ikut
gak taunya dia ada. dan tahu gak? Aku ngelawan dia, rasanya seperti menemukan
kepingan yang hilang. Kalo Kak Ian ada dia pasti bangga karena kemampuan dia
sudah hampir menyamai Kak Ian.
16
April
Aku
menang. Yeah akhirnya aku menang juga, udah lama aku gak menang dari dia.
1
Juni
Akhir
bulan ini dia 17 tahun. Betapa cepatnya waktu yang telah terlewat. Tahukah kamu
siapa dia? Dia sahabat kecilku, aku pertama kali bertemu dengannya kelas 4 SD,
waku itu kami sama-sama murid pindahan, kenangan pertama aku tentangnya adalah
waktu dia menolongku dari anak-anak nakal itu. Aku masih ingat tangannya sempat
tergores. Lucu ya, sekarang kita sudah berbeda, sudah mulai menjaga gak ada yang
namanya main bareng lagi kita sudah tahu batasan masing-masing.
8
Juni
Besok
dia tanding lawan sekolahku, aku tahu kemampuan dia dan aku yakin dia bakal
menang ngelawan Ze, eh, bukannya aku harus membela sekolahku? Ah, tidak apa aku
bakal bela siapapun yang menang. Doain dia menang ya.
Gue menutup
diary itu, bayangan tentang kecelakaan dia kembali menghampiri ingata gue.
selembar photo meluncur dari balik diary. Gue memungutnya lalu mengamati dengan
seksama, gue tersenyum photo ini diambil waktu study tour kelas 6 SD.
**************
Tetesan
hujan diluar kembali menemani sore gue, hari ini gue baru saja mendapatkan
gelar juara umum dan untuk merayakannya teman-teman gue berinisiatif buat makan
bareng lagipula udah lama juga kita gak kumpul bareng ya kurang lebih 3 minggu
lah.
Harusnya gue
udah pulang dari tadi tapi bunda gak ngizinin gue buat pulang sendiri mungkin
Bunda trauma sama kecelakaan Cinta. Ah, gue jadi inget kejadian di tempat les
waktu hujan itu, Cinta itu aneh dia suka hujan tapi takut petir, gue jadi
pengen ketawa kalo inget kejadian itu.
“Kakak..”
Suara imut itu membuyarkan lamunan gue, gue menoleh dan melihat Lea berlari ke
arah gue, gak tahu kenapa gue rasa ada hal yang aneh dengan penampilannya hari
ini.
“Ayo
pulang.” Dengan sekuat tenaga dia menarik tangan gue, kuncir rambutnya bergerak
kesana kesini. Kuncir? Gue speechless, sejak kapan lagi anak kecil ini suka
dikuncir, apa mungkin sejak dikuncirin Cinta kali ya.
**********
“Rezaaaa.”
Teriakan Tiara membuat gue terpaksa menutup telinga.
“Makan
bareng yuk.” Dengan senyum yang sengaja dibuatnya dia udah berdiri di depan gue
terus narik-narik tangan gue gak jelas.
“Gak usah
teriak-teriak, ini sekolah bukan pasar.” Gue menarik tangan gue risih.
“Sori.” Dia
menundukan mukanya sebersit rasa bersalah terpancar dari matanya.
“Ya.” Gue
Cuma menjawab singkat lalu pergi entah kemana mungkin ke lapangan, kantin atau
perpus.
******
“Aarghh..
dimana lagi tu buku” Gue mengeluarkan isi tas gue asal, buku diary cinta
hilang, sumpah dodol banget sih gue benda sepenting itu bisa ilang. Bukannya
tadi pagi buku itu masih ada? damn, kemana lagi itu buku.
Gue
memejamkan mata gue sejenak, kali aja ada ingatan yang nyangkut tentang buku
itu. Gak ketemu, seinget gue tadi ada di tas, kok sekarang gak ada? sumpah
beneran ceroboh banget sih gue, itu kan satu-satunya benda yang dikasih Cinta.
Suara Owl
City yang menyanyikan lagu fireflies terdengar, tangan gue sibuk mencari-cari
sumber suara itu sementara kaki gue sibuk menghindari barang-barang yang ada di
lantai. Oke kita lihat akibat kecerobohan gue kamar gue jadi mirip kapal pecah.
“Halo Ze?”
Akhirnya setelah membuat kamar gue makin kayak kapal pecah gue menemukan juga
benda itu.
“Za, bisa
ketemu sebentar. Gue tunggu di tempat biasa.” Gitu aja? Dan telpon diputus.
Sumpah kalo bukan kerena gue deket sama dia gue gak bakal datang. Semenjak
kejadian itu gue sama Zera jadi deket, ya kita jadi sering main bareng atau
latihan bareng.
“Kita main
15 menit, kalo lo menang gue bakal kasih tau lo sesuatu kalo lo kalah lo harus
ngelakuin sesuatu buat gue.” Dia melemparkan bole basket seenaknya didepan muka
gue, harusnya gue marah atas sikapnya yang arogan, tapi udahlah gue juga gak
minat ribut sekarang.
5 menit
pertama permainan berjalan seperti biasanya, tapi menit berikutnya permainan
mulai panas, bukan karena gue tapi Zera yang tiba-tiba aja bermain pake emosi
seolah-olah dia menumpahkan seluruh emosinya di basket, dia gak kayak orang
tanding lebih mirip sama orang main sendiri, kayaknya keberadaan gue itu emang
gak dianggap. Jujur aja gue bakal lebih milih buat ngalah daripada harus
tanding kayak gini, yang ada gue jadi ikutan emosi. Satu-satunya cara berarti
gue harus memenangkan pertandingan ini.
“Thanks.”
Gue menangkap sekaleng minuman isotonik yang dilemparkannya. Pertandingan
selesai dengan skor 9-10. Gue menang 1 angka diatas dia.
“Gue kalah.”
Zera menunduk, gue Cuma terdiam sambil menghabiskan minuman tadi. “sekeras
apapun gue berusaha, tetep aja gue kalah dan mungkin sampai kapanpun gue gak
bakal menang.” Zera menatap lapangan kosong, gue kembali terdiam mencoba
mencerna maksud kalimatnya.
“Gue suka sama Cinta.”
“Hm.” Gue
Cuma berkomentar singkat.
“Awalnya gue
pikir gue Cuma suka, tapi lama-kelamaan perasaan itu semakin besar dan sekarang
gue gak tahu apakah gue masih menyukainya atau lebih dari itu.” Sesaat gak ada
satupun dari kita yang ngomong. Entah kenapa rasanya gue pengen marah sama dia
atas pernyataannya barusan. dia pikir dia siapa bisa ngomong gitu? Tapi sesaat
kemudian gue sadar, kalo gue gak punya hak marah sama dia.
“Hari demi
hari akhirnya gue menyadari kalo bagi Cinta gue gak lebih dari kembaran kakaknya
yang hidup, gue gak lebih dari refleksi kakaknya. Butuh waktu lama buat gue
membiasakan diri dengan kenyataan itu. Dan akhirnya gue tau, kalo dia menyukai
seseorang, seseorang yang akhirnya menjadi seseorang yang istimewa baginya.
Tapi, sebelum gue mengetahui siapa orang itu. Dia pergi.” Zera menghela napas
panjang.
“Nih.” Dia
mengeluarkan sebuah buku dari tasnya.
“Ini..” Gue
membolak-balikan buku itu. Diary Cinta? di Zera? Kok bisa?
“Tadi, pas
gue nyamperin lo ke sekolah, gak sengaja gue melihat dia membuang diary itu
sesaat sebelum pulang. Isinya belum gue baca, karena sampai Cinta meminta diarynya,
diary itu tetep milik lo.”
“Thanks.”
Gue memasukan diary itu kedalam tas.
*********
“Maksud lo
ngebuang ini apa?!” Gue menaruh diary Cinta didepan muka Tiara.
“Nggg.. Gu..
Gue.. gak tahu Za.” Dia tersentak kaget.
“Bohong lo!”
“Gue.. Gue..
“ Tiara memutar-mutarkan bola matanya gelisah. “Aargh, ngapain sih lo peduli
sama dia. Dia udah mati Za, UDAH
MATIII!”
“Asal lo tau
ya, Cinta itu gak MATI!” Gue mengepalkan tinju kuat-kuat, kalo bukan karena dia
itu cewek udah gue hajar kali.
“Ini?” Tiara
merebut diary itu. “Gara-gara pemilik buku ini lo jadi berubah sama gue, lo gak
peduli lagi sama gue. lo jahat.”
“Terserah.”
Gue mengangkat kedua bahu gue lalu pergi begitu aja. Dibelakang gue anak-anak
kelasnya pada ngeliatin gue, gak peduli dan mungkin sekarang Tiara lagi nangis
bombay sambil ngadu ke kakaknya.
*******
“Kemaren gue
ketemu Cinta.” Kata-kata Zera barusan membuyarkan lamunan gue.
“Kok bisa?”
Gue bertanya tanpa mengalihkan pandangan gue.
“Tanding 15
menit, kalo lo menang gue bakal kasih tau. Tapi kalo lo kalah.. yaa... simpen
aja rasa penasaran lo.”
“Gak usah,
gue males. Kalo lo gak mau ngasih tau gue pulang.” Gue menyambar tas gue lalu
pegi.
“ZA!.” Gue
menoleh, sebuah bola berwarna biru melambung kearah gue.
“Kemaren
anak kelas gue ketemuan sama dia. Gue gak tau sampe kapan dia disini.” Teriakan
Zera membuat beberapa orang menoleh kearah kami. Gue terdiam sesaat lalu
mengangguk. Sekarang gue Cuma pengen cepet-cepet nyampe rumah, berharap Cinta
dan keluarganya main kerumah gue jadi gue bisa ketemu sama dia. Halah ngarep
banget sih gue lagipula kalo emang dia sama keluarganya kerumah gue, gue mau
ngomong apa?
“Assalamualaikum.”
Gue mendorong pintu depan pelan. 2 pasang sepatu yang gak gue kenal terhampar
di rak sepatu luar. Pikiran gue mulai melayang-layang lagi entah kemana.
“Eh, Reza.
Udah gede ya.” Seorang perempuan seusia bunda menyambut gue. gue
speechless, nyokapnya Cinta sama
Bokapnya Cinta kesini? Sejak kapan? Cinta mana?
“Apa kabar
tante, oom?” Gue menyapa mereka basa-basi.
“Baik, kamu
gimana?”
“Baik tante,
Cinta gak ikut tante?” Daripada gue penasaran gak jelas mending gue tanyain
aja.
“Katanya mau
main sama temennya.” Sebersit rasa ngilu muncul, kenapa dia lebih milih main
sama temennya daripada ketemu gue? halah, emang sepenting apa sih gue bagi dia.
“Oh gitu,
Oom tante Reza masuk dulu ya.”
*****
Lo tau apa
rasanya menunggu orang yang kita harapkan datang, tapi lo gak pernah ketemu
sama orang itu sedangkan teman-teman lo sibuk bercerita pernah ketemu dia. Lo
tau rasanya gimana? Gak enak, sakit, pengen marah, kecewa. Ya begitulah yang
gue rasain sekarang, udah 2 tahun gue gak ketemu Cinta, udah 2 tahun gue
berharap ketemu dia Cuma buat balikin diary dia, atau Cuma buat say hello
doang. tapi nyatanya? Gak sama sekali. Beberapa kali dia kesini tapi gue gak
pernah sekalipun ketemu dia.
“Cintaa.”
Seseorang memanggil namanya, gue refleks menoleh lalu mengedarkan pandangan gue
kesekitar. Nihil, gue kembali mendesah kecewa.
“Itu Cinta.”
Zera menunjuk sesuatu dengan perasaan gembira atau apapun namanya gue kembali refleks menoleh. Gue speechless,
gak percaya sama apa yang gue liat, seorang anak kecil berumur 5 tahun dengan
rambut kuncir dua dan memegang balon sedang dipeluk, dicium atau dijawil-jawil
pipinya oleh ibu-ibu disampingnya.
“Haha. Gak
berubah ya lo, masih ngarep kayak dulu.” Suara ketawa Zera menyadarkan gue.
“Cepetan, gue gak mau telat ujian gara-gara lo.” Masih dengan ketawanya Zera
meninggalkan gue dibelakang.
“Sialan lo.”
Gue buru-buru menyusul Zera. Kertas-kertas ujian, sekumpulan anak-anak calon
arsitek dan kampus dengan almamater kuning masih menunggu gue.
Gue gak tahu
sampai kapan perasaan ini bertahan, tapi yang jelas gue gak mau terlalu peduli
dengan perasaan itu, biarkan saja perasaan itu tumbuh dan hilang dengan
sendirinya, toh gue yakin cepat atau lambat, dengan perasaan yang sama atau
berbeda gue pasti bakal ketemu dia dan sampai saat itu tiba gue janji, gue
bakal tetap menyimpan diary itu. Dan untuk saat ini lebih baik gue merancang
masa depan gue daripada sibuk mikirin dia yang gak jelas. gak jelas
keberadaannya dan pastinya gak jelas perasaannya sama gue saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar