::untitle II::
oleh Agnes Yulisa
Hari ini tidak seperti biasanya, gue hanya duduk di pinggir
lapangan mengamati teman-teman gue main basket. "Ah, gue lagi males, elo
aja yang main" begitu kata gue saat Ferdy maksa-maksa gue turun ke
lapangan. gue enggan bertanding melawan anak kelas X, bukan lawan yang
sebanding buat gue. Lagipula, Siang ini cuacanya lebih terik dari biasanya. Ah
Jakarta, makin sesak saja kota ini, entah apa yang ada dipikiran kaum urban
ketika mereka berbondong-bondong mendatangi Jakarta, menaruh harapan besar pada
kota ini, apa yang mereka harapkan?.
Sekolah sudah tampak sepi, sebagian besar siswanya sudah pulang sejak 30 menit yang lalu, sebenarnya gue juga berniat pulang daritadi, tapi setelah dipikir-pikir ya ada baiknya gue jadi suporter teman-teman gue, kalo mereka menang, ferdy pasti ngajak kami makan-makan, haha, lumayan makan siang enak dan gratis.
"Ah cewe sombong itu!" gumam gue kesal begitu melihat cewe kelas XI angkuh itu berlari di seberang lapangan. Dia nangis. Paling-paling abis dikerjain si Ratu. Pikir gue, sambil mengingat-ngingat kejadian 2 minggu yang lalu, waktu gue ngebelain tuh cewe pas dia sekarat digencet Ratu dan geng sampahnya, dan setelah itu tuh cewe malah pergi gitu aja tanpa bilang terima kasih. Dasar cewe gatau terima kasih, batin gue kesal.
Tak lama kemudian, Ratu dan geng sampahnya muncul sambil tersenyum puas mengantarkan kepergian cewe angkuh itu.
Bingo! Gue tersenyum puas. Ternyata dugaan gue benar.
Sekolah sudah tampak sepi, sebagian besar siswanya sudah pulang sejak 30 menit yang lalu, sebenarnya gue juga berniat pulang daritadi, tapi setelah dipikir-pikir ya ada baiknya gue jadi suporter teman-teman gue, kalo mereka menang, ferdy pasti ngajak kami makan-makan, haha, lumayan makan siang enak dan gratis.
"Ah cewe sombong itu!" gumam gue kesal begitu melihat cewe kelas XI angkuh itu berlari di seberang lapangan. Dia nangis. Paling-paling abis dikerjain si Ratu. Pikir gue, sambil mengingat-ngingat kejadian 2 minggu yang lalu, waktu gue ngebelain tuh cewe pas dia sekarat digencet Ratu dan geng sampahnya, dan setelah itu tuh cewe malah pergi gitu aja tanpa bilang terima kasih. Dasar cewe gatau terima kasih, batin gue kesal.
Tak lama kemudian, Ratu dan geng sampahnya muncul sambil tersenyum puas mengantarkan kepergian cewe angkuh itu.
Bingo! Gue tersenyum puas. Ternyata dugaan gue benar.
Oke, gue jadi tertarik buat melihat muka sembab tuh cewe, bisa apa sih dia sama
si Ratu tanpa gue. Ga perlu berusaha keras gue udah bisa ngikutin tuh cewe dari
belakang. Ah dia mau nangis diam-diam di gedung tua ini rupanya. Pikir gue
begitu cewe itu berlari ke dalam areal bangunan tua yang sudah lama tidak
terpakai ini. Dengan santai gue mengikuti cewe itu memasuki gedung ini.
Cewe itu mengeluarkan pisau lipat dari saku roknya, Ooh, jadi dia mau bunuh diri, gumam gue geli saat melihat cewe itu mengarahkan pisau ke lengannya. Dasar ABG, sedikit-sedikit maunya bunuh diri, diputusin pacar bunuh diri, dapet nilai jelek bunuh diri, dan digencet si Ratu mau bunuh diri, dasar cewe bodoh! Baiklah, mari kita lihat apa cewe itu cuma sok berani atau benar-benar berani untuk mati, gue yakin bentar lagi juga tuh pisau dia lempar jauh-jauh, gue tersenyum meremehkan saat melihat tangannya gemetar memegang pisau itu.
"yakin lo udah siap buat mati?" tanya gue dengan nada mengejek pada cewe yang terduduk 10 meter di depan tempat gue berdiri ini. Dia justru makin terisak. Ternyata dia sok berani doang, gue nyengir melihat dia ketakutan begitu.
Namin Gue terperangah, ketika dia benar-benar mengiris urat nadinya. Jujur saja, pemandangan di depan gue ini sangat mengerikan. Baru pertama kali gue melihat orang bunuh diri. Darah mengalir perlahan dari lengannya, yaiks, bau amis.
Perlahan gue maju mendekati cewe itu, dan jongkok tepat di depannya, sesaat bulu kuduk gue berdiri, horor, itu yang gue rasain. panik, gue justru meracau di depan cewe ini, dia cuma melototin gue. Ah, cewe angkuh ini pasti ga mau gue selamatin, haha.
Bingung, gue justru diam seperti orang bodoh memperhatikan darah yang terus mengalir dari lengannya. Tangisnya berhenti, cewe itu justru tersenyum menikmati setiap tetes darah yang keluar dari lengannya. Cewe gila, batin gue ngeri.
aaarrrgggh, panik tanpa sadar gue justru mengacak-ngacak rambut gue, harusnya tadi gue gausah ngikutin dia, harusnya tadi gue duduk-duduk saja di pinggir lapangan, argh, harusnya sekarang gue lagi makan siang gratis, ketawa-tawa sama anak-anak, bukan terjebak disini sama cewe ini?!
entah kesambet setan apa, gue mengeluarkan sapu tangan dari saku celana gue, nyelamatin dia? Ah bodo, gue balut tangannya yang terluka dengan gemetar, lalu gue buang jauh-jauh pisau lipat itu dari tangannya, dan tentu saja cewe ini mengamuk, dia meronta-ronta, tapi dia tidak cukup kuat buat ngelawan gue, hahaha.
Tanpa pikir gue gendong dia secara paksa, rumah sakit, hanya itu yang menari-nari di otak gue, cewe ini semakin histeris, gue dijambak, dicakar, dicubit, dipukul. Dasar gatau terima kasih, susah payah gue nyelamatin elo, lo malah nyiksa gue kaya gini. Batin gue kesal.
Di mobil pun dia masih berusaha menganiaya gue, habis kesabaran gue malah membentak dia "berhenti menganiaya gue atau kita berdua bakal mati. Lo ga berniat bunuh gue kan?". Lebih baik gue bikin dia ketakutan daripada dia mempersulit gue, iyakan?
"gue ga akan biarin lo mati di depan mata gue. Terserah abis ini lo mau berusaha bunuh diri lagi, gue akan terus ngikutin lo, menggagalkan setiap rencana bunuh diri lo, pokoknya gue akan menjadi pengacau untuk setiap rencana nekat lo" Hahaha, dia ketakutan rupanya. "ini akan menjadi permainan yang menyenangkan bukan." tutur gue sambil meliriknya tajam. Ya, ada kepuasan tersendiri melihat dia ketakutan seperti sekarang ini. Ini balasan untuk bersikap angkuh sama senior, batin gue kegirangan.
Dan akhirnya dia berhenti menyiksa gue, malah menangis, sambil sesenggukan dia mulai menceritakan masalahnya. Masalah yang ga pernah terbayangkan oleh gue.
Betapa dia sangat kesepian selama ini, betapa lelahnya ia menjadi pelampiasan amarah ayahnya pada ibunya, dipukuli, dicaci dan dimaki, bagaimana ia marah pada takdir, takdir yang melahirkannya ke dunia, takdir yang memberinya wajah serupa ibunya, dan takdir betapa ayahnya membenci dirinya yang serupa dengan ibunya, takdir bahwa ayahnya selalu marah, benci tiap kali melihat wajahnya, seluruh dunia membenci dirinya, ayahnya, tantenya, om-nya, "gue harus lari kemana?" tanyanya disela tangisnya, gue diam saja. Lalu dia melanjutkan ceritanya, bagaimana dia merasa sendirian di dunia ini, dianggap aneh di sekolah, tidak punya teman, dan dia justru dijadikan korban bullying Ratu dan genk-nya. "aah, sialan lo Ratu!" rutuk gue.
"satu-satunya orang yang masih gue percaya dan gue harapkan di dunia ini cuma nyokap gue, gue harap dia masih inget gue, gue berharap dia mau balik ke Indonesia, nyelamatin gue, bawa gue pergi dari sini, tapi apa, dia ga pernah balik, dia ga pernah nyari gue, dia udah ga peduli juga sama gue, bahkan yang terakhir gue denger dari tante gue, dia udah hidup bahagia dan berkecukupan sama keluarga barunya di Ausie. Saat itu hati gue hancur, harapan gue satu-satunya sirna. Gue emang ga pernah diharapkan kehadirannya di dunia ini." dia terisak. Gue mematung, tidak menyangka gadis angkuh sepertinya telah mengalami begitu banyak hal menyakitkan di dunia ini, jauh berbeda dengan gue, yang hidup serba berkecukupan, entah itu kasih sayang, perhatian, ataupun materi. Tiba-tiba isak tangisnya terhenti. Ah, gadis ini pingsan rupanya.
Sudah 3 jam gue mendampinginya di sisi tempat tidur. Wajahnya tampak polos saat ini, ah lucunya. Akhirnya setelah 3 jam dia sadar juga, dia hanya buang muka saat gue tersenyum kepadanya. Dasar tidak tahu terima kasih, batin gue. Perlahan gue genggam tangannya, dia diam saja, "Seberat apapun masalah lo, mulai sekarang lo jangan pernah menyerah, cukup lari ke gue. Lo ga akan sendirian lagi, gue akan selalu ada di samping lo." tutur gue lembut. Dia tidak bergeming. "oh iya, kita belum kenalan, siapa nama lo? Gue Ari." "Rosa." jawabnya singkat.
Setelah itu, gue ketiduran disisi ranjangnya, dan begitu terbangun, Rosa sudah tidak berada di ranjangnya. Dia tidak di ada kamar. Panik, gue segera berlari mencarinya sambil meminta bantuan petugas rumah sakit. Gue terus menyangkal ketakutan gue kalo dia bakal bunuh diri lagi. Gue tiba di lobi rumah sakit, dari sini gue bisa melihat orang-orang berkerumun di depan rumah sakit. "ada apa mbak?" tanya gue pada salah satu perawat yang kebetulan lewat. "itu mas, barusan ada pasien yang terjun bebas dari atap rumah sakit." terjun bebas? Rosa? Bunuh diri? jantung gue berdegup lebih cepat dari seharusnya, pasti bukan Rosa, batin gue ketakutan.
perlahan gue mendekati kerumunan itu. Gue mematung, Keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuh gue, dada gue sesak, ah, kenapa tiba-tiba lutut gue ngilu begini? Ah, memalukan! Gue nangis!
***
Cewe itu mengeluarkan pisau lipat dari saku roknya, Ooh, jadi dia mau bunuh diri, gumam gue geli saat melihat cewe itu mengarahkan pisau ke lengannya. Dasar ABG, sedikit-sedikit maunya bunuh diri, diputusin pacar bunuh diri, dapet nilai jelek bunuh diri, dan digencet si Ratu mau bunuh diri, dasar cewe bodoh! Baiklah, mari kita lihat apa cewe itu cuma sok berani atau benar-benar berani untuk mati, gue yakin bentar lagi juga tuh pisau dia lempar jauh-jauh, gue tersenyum meremehkan saat melihat tangannya gemetar memegang pisau itu.
"yakin lo udah siap buat mati?" tanya gue dengan nada mengejek pada cewe yang terduduk 10 meter di depan tempat gue berdiri ini. Dia justru makin terisak. Ternyata dia sok berani doang, gue nyengir melihat dia ketakutan begitu.
Namin Gue terperangah, ketika dia benar-benar mengiris urat nadinya. Jujur saja, pemandangan di depan gue ini sangat mengerikan. Baru pertama kali gue melihat orang bunuh diri. Darah mengalir perlahan dari lengannya, yaiks, bau amis.
Perlahan gue maju mendekati cewe itu, dan jongkok tepat di depannya, sesaat bulu kuduk gue berdiri, horor, itu yang gue rasain. panik, gue justru meracau di depan cewe ini, dia cuma melototin gue. Ah, cewe angkuh ini pasti ga mau gue selamatin, haha.
Bingung, gue justru diam seperti orang bodoh memperhatikan darah yang terus mengalir dari lengannya. Tangisnya berhenti, cewe itu justru tersenyum menikmati setiap tetes darah yang keluar dari lengannya. Cewe gila, batin gue ngeri.
aaarrrgggh, panik tanpa sadar gue justru mengacak-ngacak rambut gue, harusnya tadi gue gausah ngikutin dia, harusnya tadi gue duduk-duduk saja di pinggir lapangan, argh, harusnya sekarang gue lagi makan siang gratis, ketawa-tawa sama anak-anak, bukan terjebak disini sama cewe ini?!
entah kesambet setan apa, gue mengeluarkan sapu tangan dari saku celana gue, nyelamatin dia? Ah bodo, gue balut tangannya yang terluka dengan gemetar, lalu gue buang jauh-jauh pisau lipat itu dari tangannya, dan tentu saja cewe ini mengamuk, dia meronta-ronta, tapi dia tidak cukup kuat buat ngelawan gue, hahaha.
Tanpa pikir gue gendong dia secara paksa, rumah sakit, hanya itu yang menari-nari di otak gue, cewe ini semakin histeris, gue dijambak, dicakar, dicubit, dipukul. Dasar gatau terima kasih, susah payah gue nyelamatin elo, lo malah nyiksa gue kaya gini. Batin gue kesal.
Di mobil pun dia masih berusaha menganiaya gue, habis kesabaran gue malah membentak dia "berhenti menganiaya gue atau kita berdua bakal mati. Lo ga berniat bunuh gue kan?". Lebih baik gue bikin dia ketakutan daripada dia mempersulit gue, iyakan?
"gue ga akan biarin lo mati di depan mata gue. Terserah abis ini lo mau berusaha bunuh diri lagi, gue akan terus ngikutin lo, menggagalkan setiap rencana bunuh diri lo, pokoknya gue akan menjadi pengacau untuk setiap rencana nekat lo" Hahaha, dia ketakutan rupanya. "ini akan menjadi permainan yang menyenangkan bukan." tutur gue sambil meliriknya tajam. Ya, ada kepuasan tersendiri melihat dia ketakutan seperti sekarang ini. Ini balasan untuk bersikap angkuh sama senior, batin gue kegirangan.
Dan akhirnya dia berhenti menyiksa gue, malah menangis, sambil sesenggukan dia mulai menceritakan masalahnya. Masalah yang ga pernah terbayangkan oleh gue.
Betapa dia sangat kesepian selama ini, betapa lelahnya ia menjadi pelampiasan amarah ayahnya pada ibunya, dipukuli, dicaci dan dimaki, bagaimana ia marah pada takdir, takdir yang melahirkannya ke dunia, takdir yang memberinya wajah serupa ibunya, dan takdir betapa ayahnya membenci dirinya yang serupa dengan ibunya, takdir bahwa ayahnya selalu marah, benci tiap kali melihat wajahnya, seluruh dunia membenci dirinya, ayahnya, tantenya, om-nya, "gue harus lari kemana?" tanyanya disela tangisnya, gue diam saja. Lalu dia melanjutkan ceritanya, bagaimana dia merasa sendirian di dunia ini, dianggap aneh di sekolah, tidak punya teman, dan dia justru dijadikan korban bullying Ratu dan genk-nya. "aah, sialan lo Ratu!" rutuk gue.
"satu-satunya orang yang masih gue percaya dan gue harapkan di dunia ini cuma nyokap gue, gue harap dia masih inget gue, gue berharap dia mau balik ke Indonesia, nyelamatin gue, bawa gue pergi dari sini, tapi apa, dia ga pernah balik, dia ga pernah nyari gue, dia udah ga peduli juga sama gue, bahkan yang terakhir gue denger dari tante gue, dia udah hidup bahagia dan berkecukupan sama keluarga barunya di Ausie. Saat itu hati gue hancur, harapan gue satu-satunya sirna. Gue emang ga pernah diharapkan kehadirannya di dunia ini." dia terisak. Gue mematung, tidak menyangka gadis angkuh sepertinya telah mengalami begitu banyak hal menyakitkan di dunia ini, jauh berbeda dengan gue, yang hidup serba berkecukupan, entah itu kasih sayang, perhatian, ataupun materi. Tiba-tiba isak tangisnya terhenti. Ah, gadis ini pingsan rupanya.
Sudah 3 jam gue mendampinginya di sisi tempat tidur. Wajahnya tampak polos saat ini, ah lucunya. Akhirnya setelah 3 jam dia sadar juga, dia hanya buang muka saat gue tersenyum kepadanya. Dasar tidak tahu terima kasih, batin gue. Perlahan gue genggam tangannya, dia diam saja, "Seberat apapun masalah lo, mulai sekarang lo jangan pernah menyerah, cukup lari ke gue. Lo ga akan sendirian lagi, gue akan selalu ada di samping lo." tutur gue lembut. Dia tidak bergeming. "oh iya, kita belum kenalan, siapa nama lo? Gue Ari." "Rosa." jawabnya singkat.
Setelah itu, gue ketiduran disisi ranjangnya, dan begitu terbangun, Rosa sudah tidak berada di ranjangnya. Dia tidak di ada kamar. Panik, gue segera berlari mencarinya sambil meminta bantuan petugas rumah sakit. Gue terus menyangkal ketakutan gue kalo dia bakal bunuh diri lagi. Gue tiba di lobi rumah sakit, dari sini gue bisa melihat orang-orang berkerumun di depan rumah sakit. "ada apa mbak?" tanya gue pada salah satu perawat yang kebetulan lewat. "itu mas, barusan ada pasien yang terjun bebas dari atap rumah sakit." terjun bebas? Rosa? Bunuh diri? jantung gue berdegup lebih cepat dari seharusnya, pasti bukan Rosa, batin gue ketakutan.
perlahan gue mendekati kerumunan itu. Gue mematung, Keringat dingin mengalir deras di sekujur tubuh gue, dada gue sesak, ah, kenapa tiba-tiba lutut gue ngilu begini? Ah, memalukan! Gue nangis!
***
Untittle
II
Oleh : Himeka Sora
“Hahaha, mau lari kemana lagi lo?” Ratu and genknya
menggencet gue lagi, yap lagi entah udah berapa kali mereka melakukan hal ini
sama gue. “Gak usah sok cantik deh lo, kemaren ngapain Ari datang nolongin lo.” Ratu menaikan
alisnya sebelah kedua tangannya dilipat, gaya khas cewek sombong ini. “Inget ya
Ari itu MILIK GUE, jadi jangan pernah sekali-sekali lo ngedeketin dia.”
“Aargh.” Gue berteriak menerobos barisan mereka, gue capek
kayak gini terus kenapa dunia gak adil sama gue? kenapa gak ada seorangpun yang
menginginkan keberadaan gue? seolah-olah gue adalah anak sial, pembawa bencana.
Bahkan keluarga gue sendiri pun membenci gue hanya karena wajah gue mirip
nyokap? Bukan salah gue terlahir dengan wajah mirip nyokap. bukan salah gue
kalau nyokap gue selingkuh. Nyokap? Bahkan sampai sekarang pun gue gak tahu
kabarnya, nyokap gue kabur dan meninggalkan masalah buat gue. masalah karena
wajah gue mirip nyokap gue.
Gue mengeluarkan pisau lipat dari rok gue, entah udah berapa
lama benda kecil ini selalu gue bawa-bawa. MATI Cuma itu yang ada dibenak gue.
gue udah gak sanggup lagi, gue pengen semuanya selesai.
"yakin lo udah siap buat
mati?" gue menoleh, Ari menatap gue dengan wajah mengejek. Ari? Gue baru
tahu namanya dari Ratu tadi saat gue digencet, gue tekankan sekali lagi SAAT
GUE DIGENCET RATU. Pertanyaannya melayang-layang dipikiran gue, yakin gue udah
siap buat mati? Setelah apa yang dilakukan dunia sama gue apa gue siap buat
mati sekarang? Gue terisak, pertanyaan itu gak butuh jawaban tapi tindakan. Gue
menempelkan pisau ditangan kiri gue dan dengan tenang mengirisnya. Dia meracau
panik didepan gue. gue tersenyum kecil, itu jawaban atas pertanyaan lo barusan
mata gue menjawab kepanikannya.
Panik dia mulai mengikat tanagn gue
dengan sapu tangannya dan mebuang pisau gue jauh-jauh. Gue mengamuk, menjambak,
atau apaun lah yang bisa gue lakuin. “Orang kayak lo gak akan pernah mengerti
apa yang gue rasakan.” Gue menjerit dalam hati. Dia menyeret gue kedalam
mobilnya, gue kembali menjambak, memukul, mencakar atau apapun yang penting dia
pergi dan gue bakal menjemput kematian gue dengan cara gue sendiri. gue Cuma
pengen mati dengan tenang, gak lebih.
"berhenti menganiaya gue atau
kita berdua bakal mati. Lo ga berniat bunuh gue kan?". Dia membentak gue. "ini
akan menjadi permainan yang menyenangkan bukan." Dia menatap gue tajam,
permainan apa lagi yang bakal terjadi, gue udah capek dengan semua permaina
ini. “Permainan yang menyenangkan adalah saat gue mati, meninggalkan dunia dan
masalah gue dengan tenang.” Gue menjawab dalam hati dan menatapnya nanar.
“Gue capek dengan semua ini, gue
capek gak pernah dianggap ada didunia ini, gue benci dunia ini, duania ini gak
adil. Kenapa gue harus punya wajah yang mirip sama nyokap gue? lo gak tahu kan
gimana benci, marah, dan kecewanya keluarga gue pada nyokap gue, dan mereka
melampiaskan kekecewaan mereka sama gue, hanya karena wajah gue mirip nyokap
gue, gue capek selalu dianggap aneh disekolah, jadi target utama Ratu and
geknnya. Gue bingung, gue benci semua ini, gue harus lari kemana? Rasanya lebih
baik gue gak pernah ada didunia ini.” Gue terisak.
"satu-satunya orang yang masih
gue percaya dan gue harapkan di dunia ini cuma nyokap gue, gue harap dia masih
inget gue, gue berharap dia mau balik ke Indonesia, nyelamatin gue, bawa gue
pergi dari sini, tapi apa, dia ga pernah balik, dia ga pernah nyari gue, dia
udah ga peduli juga sama gue, bahkan yang terakhir gue denger dari tante gue,
dia udah hidup bahagia dan berkecukupan sama keluarga barunya di Ausie. Saat
itu hati gue hancur, harapan gue satu-satunya sirna. Gue emang ga pernah
diharapkan kehadirannya di dunia ini."
Gue terisak lagi, ah entah kenapa gue
menceritakan masalah gue sama dia, orang yang menyebabkan gue jadi korbannya
Ratu hari ini, ah peduli amat toh Ratu memang selalu menjadikan gue sebagai
targetnya, sejak awal gue masuk sekolah ini dia emang gak pernah suka sama gue
hanya karena wajah gue yang blasteran. dia Cuma bikin hidup gue makin
menderita, dia menyebarkan gosip-gosip aneh dan gak jelas tentang gue, dan
membuat gue tidak memiliki teman, dianggap aneh, dan entahlah apalagi. Kepala
gue pusing mungkin karena gue kebanyakan menangis hari ini, mungkin karena gue
gak makan sejak kemarin, mungkin karena semua masalah ini. perlahan jalanan
didepan gue berubah samar dan gelap.
Gue mengerjap-ngerjapkan mata dan
melihat kesekeliling gue, gue gak tahu sekarang ada dimana, Ari yang entah
sejak kapan ada disini tersenyum kearah gue, gue membuang muka gue, kenapa dia
ada disini?
"Seberat apapun masalah lo,
mulai sekarang lo jangan pernah menyerah, cukup lari ke gue. Lo ga akan
sendirian lagi, gue akan selalu ada di samping lo." Dia berkata lembut
sambil memegang tangan gue, "oh iya, kita belum kenalan, siapa nama lo?
Gue Ari." Dia memperkenalkan dirinya, “Gue udah tau.” Gue membatin.
“Rosa.” Gue menjawab singkat.
"Seberat apapun masalah lo,
mulai sekarang lo jangan pernah menyerah, cukup lari ke gue. Lo ga akan
sendirian lagi, gue akan selalu ada di samping lo." kata-katanya barusan
menghiasi pikiran gue. “Hah? Mana mungkin? Lu pikir segampang itu masalah gue
terselesaikan, udah terlalu sering gue mendengar kata-kata itu tapi nyatanya?
Gak ada! semua orang justru pergi menjauh dan meninggalkan gue sendiri lagi.
Gue capek! Gue capek kayak gini terus” Gue melirik kearah Ari yang tidur disisi
ranjang gue. “Bagus.” Gue berteriak dalam hati lalu keluar ruangan.
"gue ga akan biarin lo mati di
depan mata gue. Terserah abis ini lo mau berusaha bunuh diri lagi, gue akan
terus ngikutin lo, menggagalkan setiap rencana bunuh diri lo, pokoknya gue akan
menjadi pengacau untuk setiap rencana nekat lo" Gue inget dia bilang kayak
gitu waktu di mobil, dan sekarang dia sedang tertidur pulas entah kapan dia
bakal bangun tapi yang jelas sebelum dia bangun gue harus menjalankan rencana
gue. Now or never.
Gue menatap bangunan rumah sakit
dibawah gue, yap sekarang gue berdiri diatas atap rumah sakit dengan kedua
tangan direntangkan. “Gue siap meninggalkan dunia ini.” Gue menjatuhkan diri
gue kebawah dan semuanya berubah menjadi gelap.
good job muthi :)
BalasHapuscerpennya bagus nyambung banget cerpen kita berdua berasa cuma chemistry nih sama kamu jadinya wkwkwk *maugombalceritanya*
two thumbs up deh pokoknya :D
abis ini gantian kamu dulu yg bikin cerpennya oke oke :DD
kau bikin blog deh sa.
Hapusehehehe, chemistry? kimia maksudnya? ahahaha.
hmm, lagi proses nih.
aku punya blog kalee tong
Hapus