Got My Cursor @ 123Cursors.com
Himeka Raining Sora: Falling in Love is like the Rain

Kamis, 25 Juli 2013

Falling in Love is like the Rain



Bogor, Mei 2013
Falling in Love is like the Rain it`s unpredictable, but there are always signs before it completely falls.
Buat aku pepatah singkat yang entah berasal darimana itu memiliki dua kata kunci, Cinta dan Hujan. Cinta, itu tema yang bakal aku ambil kali ini, bukan cinta tentang dua orang sahabat yang berlainan jenis, bukan cinta tentang dua orang yang selalu bertengkar hingga akhirnya jatuh cinta apalagi cinta tentang dua orang yang saling mencintai tapi tak bisa bersama.
Cinta kali ini berbeda, cinta kali ini lebih besar, perjalanan cinta kali ini gak mudah, bukan karena tidak disetujui oleh orang tua atau karena perbedaan agama tapi karena para pemain dalam permainan cinta ini sadar betul apa akhir dari perjalanan cinta ini.
Ini cerita cinta tentang kami angkatan pertama SMAIT Insantama, ini cerita tentang kami para calon pemimpin yang sedang belajar mencintai dan dicintai karena Allah.
Dan hujan, kata kunci yang menurutku memiliki sejuta makna. Bukan karena aku menyukai hujan atau karena aku tinggal di kota hujan tapi karena hujanlah yang mengawali cerita ini.

***
 Bogor, Juni 2010
Hari itu langit kembali menumpahkan airnya ke bumi. Ah hujan lagi. Aku mendesah pelan sambil memandangi langit sore yang kelabu itu.
“Yah, hujan.” Seseorang disekitarku berkata seperti itu dengan muka ditekuk.
Selamat datang di Bogor kota hujan. Disini hujan turun bebas sesuka dia.
Dan, disinilah perjalanan kami berawal. Perjalanan Akar SMAIT Insantama.
Angkatan pertama, setiap orang di dunia ini, bahkan setiap semutpun juga tahu kalau kami adalah angkatan pertama. Gelar yang belum tentu didapatkan setiap orang, ibaratnya adalah golongan darah AB dengan rhesus negative. Begitulah kami, unik dan langka.
Seluruh cerita tentang tahun pertama adalah cerita yang selalu kami sukai. Seolah-olah kami berada disebuah dunia kecil dimana hanya ada cerita tentang kami, kami, dan hanya kami. Tentang kami yang mendapat perhatian lebih, tentang kami yang sering manja atau bahkan menangis dihadapan para guru, tentang kami yang mendapatkan apa yang kami inginkan, dan tentang kami yang bebas melakukan apapun tanpa perlu diganggu oleh siapapun. Kenyataan bahwa kami adalah anak tunggal dengan bangunan sendiri membuat kami merasa nyaman atau mungkin sangat nyaman berada di dunia kecil kami.
Namun semuanya berubah begitu saja saat makhluk-makhluk yang tak kami kenal masuk kedalam dunia kecil kami. Liburan panjang kami yang menyenangkan terpaksa dibatalkan karena kami harus mengurusi acara MOS mereka. Acara yang bahkan gak pernah kami harapkan untuk ada, Mungkin kami egois karena tidak menginginkan hal itu, tapi aku yakin kalau semua orang di dunia ini berada di posisi kami pasti mereka juga akan bersikap seperti kami. Menolak kehadiran makhluk-makhluk yang tak kami kenal itu. Tidak ada lagi cerita tentang kami, yang ada adalah kami dan mereka. Makhluk-makhluk itu membuat dunia kecil kami tidak sama lagi, membuat kami harus berbagi dunia kecil kami, bahkan membuat kamar kami terpisah-pisah. Setidaknya itulah yang kami rasakan.
Hingga suatu saat hati kami mulai luluh juga, bukan karena tingkah lucu mereka karena yaa seperti yang kita tahu mereka berumur lima belas tahun bukan balita umur empat tahun, tapi karena ikatan persaudaraan yang terjadi saat hari pertama masa orientasi mereka, layaknya kaum anshar dan muhajirin yang dipersaudarakan oleh rasulullah, pak Karebet –unpredictable man- menyuruh kami mencari seorang adik kelas yang tak kami kenal untuk menjadi “adik muda” kami selama setahun kedepan, mungkin karena beliau sadar sikap egois dan keras kepala seorang kakak mulai menjalari kami. Entah tepatnya kapan, tapi yang pasti ada satu kejadian yang membuatku dekat dengan “adik muda” yang sepertinya terpilih karena takdir. Berawal dari malam dimana kami semua dikumpulkan di gedung SD yang gelap, ditemani sebatang lilin, secarik kertas dan setetes tinta kami mulai menulis “observasi” kami selama beberapa hari tentang saudara baru kami itu. apa kekurangan dan kelebihannya, bagaimana ia mengelola potensi dirinya itu, dan bagaimana kami harus saling menjaga dan memantau atau lebih tepatnya mengingatkan dirinya saat imannya sedang futur.
Yaa meskipun awalnya kami melakukan itu atas dasar perintah tapi lambat laun kami mulai terbiasa dengan mereka, berbagi suka, duka, dan makanan bersama mereka. Membantu mempersiapkan kebutuhan LDK, berbagi pengalaman, membantu mencari dana meskipun hanya dengan membeli snack yang mereka jual atau meminjami jas hujan untuk keberangkatan mereka ke Cianjur, dan menyiapkan sambutan sederhana saat mereka pulang dari LDK seperti candle light dinner dadakan yang sama sekali gak romantic tapi sanggup membuat orang-orang berteriak haru.
Hari berganti, kami mulai memasuki akhir tahun, dan seperti tahun-tahun sebelumnya semua warga Insantama dari mulai SD sampai SMA akan hadir di GWW IPB, semuanya sibuk mempersiapkan hari besar itu, begitu juga dengan kami. Kami mulai menyusun puisi dan gerakan yang akan kami tampilkan nanti, kami disini bukan hanya akhwat kelas sebelas tapi juga akhwat kelas sepuluh, sedangkan ikhwannya? Entah menampilkan apa. Jam demi jam berlalu, kami mulai sibuk berlatih ditengah padatnya jadwal, sesekali yayasan ikut mengamati kami, membenarkan mana yang salah. Sampai tiba di satu titik dimana ketaatan kami kembali diuji, kurang dari seminggu sebelum hari H saat semuanya melakukan gladi kotor. Ibarat petir yang menyambar di siang bolong, gerakan kami dinilai terlalu gemulai, padahal kami tidak merasa melakukan apa yang disebut tadi. Atau memang fitrah seorang perempuan seperti itu.  
Tawar menawar mulai dilakukan, diskusi mulai diadakan tapi sayangnya titik terang belum juga terlihat. Kami sebagai kakak tertua merasa lelah dan kecewa, lelah oleh semua kesibukan yang membuat jadwal kami yang sudah gemuk menjadi semakin gemuk, kami kecewa, siapa yang tidak kecewa kalau ada di posisi kami. Belum lagi tuntutan untuk menjadi lebih bijak. Perseteruan kembali terjadi, bukan antara kami seperti dulu, tapi antar angkatan. Kami yang sudah lelah ingin rasanya menyudahi semuanya, siapa peduli dengan tampilnya kami atau tidak? Toh, tahun depan kami pasti tampil ke depan sebagai alumni. Sementara adik kelas kami tidak, mereka masih ingin melanjutkan tapi bingung bagaimana caranya. Sampai akhirnya ustadz rahmat dan bu dedeh menengahi, mereka berpendapat untuk membuat orasi berantai mirip seperti yang ikhwan buat. Beberapa orang yang sudah terlanjur kecewa menggeleng keras, dan beberapa lagi mengangguk setuju. Keputusan sudah diambil, anak SMA akhwat akan tetap tampil, dengan orasi berantai, tanpa music pengiring yang lembut yang membuat kupu-kupu ingin mengepakan sayapnya, tanpa gerakan duduk anggun di tangga, dan tanpa kerudung paris yang dikepakan ibarat sayap kupu-kupu yang indah. 
Waktu yang kami miliki tidak banyak, kurang dari 48 jam untuk menyiapkan semuanya menjadi matang. Hari pertama kami latihan sekaligus menjadi hari terakhir kami latihan. Situasi masih memanas, beberapa orang masih bertahan dengan egonya. Sampai akhirnya saat kami (beberapa orang yang menyetujui rencana itu) tampil, dan teriakan takbir mulai membahana di GWW, ego mereka runtuh, derai air mata mulai bercucuran, permintaan maaf terdengar dimana-mana.  
***
Memasuki tahun ketiga, adik baru kami kembali berdatangan. Rasanya asrama semakin sesak saja, wajah-wajah baru mulai bermunculan dengan gaya yang sesekali membuat kami mengerinyitkan dahi heran. Kesibukan kami akan LKMA dan UN membuat kami tidak terlalu memperhatikan adik baru kami, ditambah kenyataan kalau kami tidak menjadi panitia karena dinilai terlalu sibuk, padahal kami tahu diam-diam adik baru kami itu ingin berkenalan dengan kami, kakak tertua mereka. Tapi mungkin mereka tidak berani atau kami yang terlalu sibuk dengan buku UN yang setia menemani kami? Sampai akhirnya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar