Bogor, Mei 2013
Falling in Love is like the Rain it`s
unpredictable, but there are always signs before it completely falls.
Buat aku pepatah singkat yang entah berasal
darimana itu memiliki dua kata kunci, Cinta dan Hujan. Cinta, itu tema yang
bakal aku ambil kali ini, bukan cinta tentang dua orang sahabat yang berlainan
jenis, bukan cinta tentang dua orang yang selalu bertengkar hingga akhirnya
jatuh cinta apalagi cinta tentang dua orang yang saling mencintai tapi tak bisa
bersama.
Cinta kali ini berbeda, cinta kali ini lebih
besar, perjalanan cinta kali ini gak mudah, bukan karena tidak disetujui oleh
orang tua atau karena perbedaan agama tapi karena para pemain dalam permainan
cinta ini sadar betul apa akhir dari perjalanan cinta ini.
Ini cerita cinta tentang kami angkatan pertama
SMAIT Insantama, ini cerita tentang kami para calon pemimpin yang sedang
belajar mencintai dan dicintai karena Allah.
Dan hujan, kata kunci yang menurutku memiliki
sejuta makna. Bukan karena aku menyukai hujan atau karena aku tinggal di kota
hujan tapi karena hujanlah yang mengawali cerita ini.
***
Bogor,
Juni 2010
Hari itu langit kembali menumpahkan airnya ke
bumi. Ah hujan lagi. Aku mendesah pelan sambil memandangi langit sore
yang kelabu itu.
“Yah, hujan.” Seseorang disekitarku berkata
seperti itu dengan muka ditekuk.
Selamat datang di Bogor kota hujan. Disini
hujan turun bebas sesuka dia.
Dan, disinilah perjalanan kami berawal.
Perjalanan Akar SMAIT Insantama.
Angkatan pertama, setiap orang di dunia ini,
bahkan setiap semutpun juga tahu kalau kami adalah angkatan pertama. Gelar yang
belum tentu didapatkan setiap orang, ibaratnya adalah golongan darah AB dengan
rhesus negative. Begitulah kami, unik dan langka.
Seluruh cerita tentang tahun pertama adalah
cerita yang selalu kami sukai. Seolah-olah kami berada disebuah dunia kecil
dimana hanya ada cerita tentang kami, kami, dan hanya kami. Tentang kami yang
mendapat perhatian lebih, tentang kami yang sering manja atau bahkan menangis
dihadapan para guru, tentang kami yang mendapatkan apa yang kami inginkan, dan
tentang kami yang bebas melakukan apapun tanpa perlu diganggu oleh siapapun.
Kenyataan bahwa kami adalah anak tunggal dengan bangunan sendiri membuat kami
merasa nyaman atau mungkin sangat nyaman berada di dunia kecil kami.
Namun semuanya berubah begitu saja saat
makhluk-makhluk yang tak kami kenal masuk kedalam dunia kecil kami. Liburan
panjang kami yang menyenangkan terpaksa dibatalkan karena kami harus mengurusi
acara MOS mereka. Acara yang bahkan gak pernah kami harapkan untuk ada, Mungkin
kami egois karena tidak menginginkan hal itu, tapi aku yakin kalau semua orang
di dunia ini berada di posisi kami pasti mereka juga akan bersikap seperti
kami. Menolak kehadiran makhluk-makhluk yang tak kami kenal itu. Tidak ada lagi
cerita tentang kami, yang ada adalah kami dan mereka. Makhluk-makhluk itu
membuat dunia kecil kami tidak sama lagi, membuat kami harus berbagi dunia
kecil kami, bahkan membuat kamar kami terpisah-pisah. Setidaknya itulah yang
kami rasakan.
Hingga suatu saat hati kami mulai luluh juga,
bukan karena tingkah lucu mereka karena yaa seperti yang kita tahu mereka
berumur lima belas tahun bukan balita umur empat tahun, tapi karena ikatan
persaudaraan yang terjadi saat hari pertama masa orientasi mereka, layaknya
kaum anshar dan muhajirin yang dipersaudarakan oleh rasulullah, pak Karebet –unpredictable
man- menyuruh kami mencari seorang adik kelas yang tak kami kenal untuk
menjadi “adik muda” kami selama setahun kedepan, mungkin karena beliau sadar
sikap egois dan keras kepala seorang kakak mulai menjalari kami. Entah tepatnya
kapan, tapi yang pasti ada satu kejadian yang membuatku dekat dengan “adik muda”
yang sepertinya terpilih karena takdir. Berawal dari malam dimana kami semua
dikumpulkan di gedung SD yang gelap, ditemani sebatang lilin, secarik kertas
dan setetes tinta kami mulai menulis “observasi” kami selama beberapa hari
tentang saudara baru kami itu. apa kekurangan dan kelebihannya, bagaimana ia
mengelola potensi dirinya itu, dan bagaimana kami harus saling menjaga dan
memantau atau lebih tepatnya mengingatkan dirinya saat imannya sedang futur.
Yaa meskipun awalnya kami melakukan itu atas
dasar perintah tapi lambat laun kami mulai terbiasa dengan mereka, berbagi suka,
duka, dan makanan bersama mereka. Membantu mempersiapkan kebutuhan LDK, berbagi
pengalaman, membantu mencari dana meskipun hanya dengan membeli snack yang
mereka jual atau meminjami jas hujan untuk keberangkatan mereka ke Cianjur, dan
menyiapkan sambutan sederhana saat mereka pulang dari LDK seperti candle
light dinner dadakan yang sama sekali gak romantic tapi sanggup membuat
orang-orang berteriak haru.
Hari berganti, kami mulai memasuki akhir tahun,
dan seperti tahun-tahun sebelumnya semua warga Insantama dari mulai SD sampai
SMA akan hadir di GWW IPB, semuanya sibuk mempersiapkan hari besar itu, begitu
juga dengan kami. Kami mulai menyusun puisi dan gerakan yang akan kami
tampilkan nanti, kami disini bukan hanya akhwat kelas sebelas tapi juga akhwat kelas
sepuluh, sedangkan ikhwannya? Entah menampilkan apa. Jam demi jam berlalu, kami
mulai sibuk berlatih ditengah padatnya jadwal, sesekali yayasan ikut mengamati
kami, membenarkan mana yang salah. Sampai tiba di satu titik dimana ketaatan
kami kembali diuji, kurang dari seminggu sebelum hari H saat semuanya melakukan
gladi kotor. Ibarat petir yang menyambar di siang bolong, gerakan kami dinilai
terlalu gemulai, padahal kami tidak merasa melakukan apa yang disebut tadi.
Atau memang fitrah seorang perempuan seperti itu.
Tawar menawar mulai dilakukan, diskusi mulai
diadakan tapi sayangnya titik terang belum juga terlihat. Kami sebagai kakak
tertua merasa lelah dan kecewa, lelah oleh semua kesibukan yang membuat jadwal
kami yang sudah gemuk menjadi semakin gemuk, kami kecewa, siapa yang tidak
kecewa kalau ada di posisi kami. Belum lagi tuntutan untuk menjadi lebih bijak.
Perseteruan kembali terjadi, bukan antara kami seperti dulu, tapi antar
angkatan. Kami yang sudah lelah ingin rasanya menyudahi semuanya, siapa peduli
dengan tampilnya kami atau tidak? Toh, tahun depan kami pasti tampil ke depan
sebagai alumni. Sementara adik kelas kami tidak, mereka masih ingin melanjutkan
tapi bingung bagaimana caranya. Sampai akhirnya ustadz rahmat dan bu dedeh
menengahi, mereka berpendapat untuk membuat orasi berantai mirip seperti yang
ikhwan buat. Beberapa orang yang sudah terlanjur kecewa menggeleng keras, dan
beberapa lagi mengangguk setuju. Keputusan sudah diambil, anak SMA akhwat akan
tetap tampil, dengan orasi berantai, tanpa music pengiring yang lembut yang
membuat kupu-kupu ingin mengepakan sayapnya, tanpa gerakan duduk anggun di
tangga, dan tanpa kerudung paris yang dikepakan ibarat sayap kupu-kupu yang
indah.
Waktu yang kami miliki tidak banyak, kurang
dari 48 jam untuk menyiapkan semuanya menjadi matang. Hari pertama kami latihan
sekaligus menjadi hari terakhir kami latihan. Situasi masih memanas, beberapa
orang masih bertahan dengan egonya. Sampai akhirnya saat kami (beberapa orang
yang menyetujui rencana itu) tampil, dan teriakan takbir mulai membahana di
GWW, ego mereka runtuh, derai air mata mulai bercucuran, permintaan maaf
terdengar dimana-mana.
***
Memasuki tahun ketiga, adik baru kami kembali
berdatangan. Rasanya asrama semakin sesak saja, wajah-wajah baru mulai
bermunculan dengan gaya yang sesekali membuat kami mengerinyitkan dahi heran.
Kesibukan kami akan LKMA dan UN membuat kami tidak terlalu memperhatikan adik
baru kami, ditambah kenyataan kalau kami tidak menjadi panitia karena dinilai
terlalu sibuk, padahal kami tahu diam-diam adik baru kami itu ingin berkenalan
dengan kami, kakak tertua mereka. Tapi mungkin mereka tidak berani atau kami
yang terlalu sibuk dengan buku UN yang setia menemani kami? Sampai akhirnya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar